Mengenai bangkit dari duduk istirahat pada perpindahan rakaat, maka para ulama berbeda pendapat. Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang afdhal adalah, bertumpu pada kedua lututnya bukan kedua tangannya kecuali apabila dalam keadaan masyaqqoh (berat/sulit), sedangkan Malikiyah dan Syafi'iyah berpendapat bahwa yang afdhal adalah bertumpu pada kedua telapak tangan tanpa menggenggam.
Yang Menshohihkan Hadits Al-'Ajn (Mengepalkan Kedua Tangan Saat Bangkit Dari Sujud Untuk Berdiri)
Para ulama fikih dan hadits juga berbeda pendapat tentang hadits 'ajn (mengepal) ketika bangkit dari sujud. Hadits yang dimaksud adalah :
"Dari al-Azraq bin Qoys rahimahullâhu beliau berkata : Aku melihat 'Abdullah bin 'Umar sedang mengepal ketika sholat, beliau bertumpu pada kedua tangannya ketika berdiri. Saya bertanya kepada beliau, "apa yang anda lakukan ini wahai Abu 'Abdirrahman?". Maka beliau menjawab, "Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengepal (ketika bangkit) di dalam sholatnya, yaitu bertumpu (pada kedua tangannya)."
Hadits di atas dishahihkan oleh al-Muhaddits al-Albani rahimahullâhu dalam Silsilah ash-Shahîhah hadits no 2674.
Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, diantaranya adalah Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullâhu dalam buku beliau Lâ Jadîd fî Hukmi ash-Sholâh. Syaikh al-Albani rahimahullâhu lebih merajihkan pendapat mengepal ('ajn) ketika bangkit berdiri dari sujud dan duduk istirahat.
Syaikh al-Albani juga telah membantah mereka yang mendhaifkan hadits 'ajn ini di dalam kitab Tamâmul Minnah (196-207) dan Syaikh 'Ali Hasan al-Halabi juga juga menyinggung masalah ini di dalam buku terbaru beliau Su'âlât 'Alî bin Hasan li Syaikhihi al-Imâm al-Allâmah a-Muhaddits al-Faqîh asy-Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî Jilid II hal 258-260.
Telah sampai pertanyaan kepada kami tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan memakai cincin bagi laki-laki.
Berikut beberapa hal yang berkaitan dengan pertanyaan tersebut, yang kami bagi berdasarkan sub judul dari masing-masing penjelasan yang dirangkum dari berbagai sumber.
Hukum memakai cincin kawin atau cincin pertunangan
Telah diajukan pertanyaan seputar masalah ini kepada Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin rahimahullah. Dan beliau berfatwa:
"Cincin tunangan adalah ungkapan dari sebuah cincin (yang tidak bermata). Pada asalnya, mengenakan cincin bukanlah sesuatu yang terlarang kecuali jika disertai i'tiqad (keyakinan) tertentu sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Seseorang menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada tunangan wanitanya, dan si wanita juga menulis namanya pada cincin yang dia berikan kepada si lelaki yang melamarnya, dengan anggapan bahwa hal ini akan menimbulkan ikatan yang kokoh antara keduanya. Pada kondisi seperti ini, cincin tadi menjadi haram, karena merupakan perbuatan bergantung dengan sesuatu yang tidak ada landasannya secara syariat maupun inderawi (tidak ada hubungan sebab akibat).
Demikian pula, lelaki pelamar tidak boleh memakaikannya di tangan wanita tunangannya karena wanita tersebut baru sebatas tunangan dan belum menjadi istrinya setelah lamaran tersebut. Maka wanita itu tetaplah wanita ajnabiyyah (bukan mahram) baginya, karena tidaklah resmi menjadi istri kecuali dengan akad nikah." (sebagaimana dalam kitab Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 113, dan Fatawa Al-Mar'ah Al-Muslimah, hal. 476)
Senada dengan syaikh Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab: "Seorang lelaki tidak boleh mengenakan emas baik berupa cincin atau perhiasan yang lain dalam keadaan apapun. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengharamkan emas atas kaum laki-laki umat ini. Dan beliau melihat seorang lelaki yang mengenakan cincin emas di tangannya maka beliaupun melepas cincin tersebut dari tangannya. Kemudian beliau berkata:
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَضُعَهَا فِي يَدِهِ؟
"Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api dari neraka lalu meletakkannya di tangannya?"
Maka, seorang lelaki muslim tidak boleh mengenakan cincin emas. Adapun cincin selain emas seperti cincin perak atau logam yang lain, maka boleh dikenakan oleh laki-laki, meskipun logam tersebut sangat berharga.
Mengenakan cincin tunangan bukanlah adat kaum muslimin (melainkan adat orang-orang kafir). Apabila cincin itu dipakai disertai dengan i'tiqad (keyakinan) akan menyebabkan terwujudnya rasa cinta antara pasangan suami istri dan jika ditanggalkan akan memengaruhi langgengnya hubungan keduanya, maka yang seperti ini termasuk syirik.(Syirik kecil). Dan ini merupakan keyakinan jahiliyah.
Alhamdulillah pada saat ini kita telah berada di bulan Muharram, salah satu bulan dari empat bulan yang memiliki kehormatan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang dikhabarkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dalam sabda beliau: “Sesungguhnya zaman telah berputar kembali seperti bentuknya ketika Allah menciptakan langit-langit dan bumi, satu tahun itu 12 bulan dan di antaranya ada 4 bulan haram (yang memiliki kehormatan), 3 bulan (di antaranya) berturut-turut : Dzul Qo’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan bulan Rajabnya Mudhor yang berada antara Jumadil (akhir) dan Sya’ban”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan bulan ini juga merupakan salah satu dari beberapa bulan yang Allah Ta’ala telah menurunkan syariat puasa khusus di dalamnya yaitu puasa yang kita kenal bersama dengan nama puasa asyura. Karena itu pada pembahasan kali ini, kami akan mengangkat beberapa hukum seputar puasa Asyuro, semoga kaum muslimin sekalian bisa mendapatkan ilmu dan pelajaran tentangnya sebelum terjun melaksanakannya.
1. Dalil-Dalil Tentang Disyari’atkannya.
Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa puasa asyura awal kali disyariatkan ketika beliau tiba pertama kali di kota Madinah. Adapun sebab asal pensyari’atannya yaitu karena pada hari itu Allah Ta’ala menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dari musuhnya sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas di atas, jadi bukan karena mengikuti agamanya orang-orang Yahudi. Lihat Nailul Author (4/288)
2. Hukumnya.
Nampak jelas dari hadits-hadits di atas dan juga dari hadits-hadits yang lain yang semakna dengannya bahwa dulunya hukum puasa hari ‘Asyuro` adalah wajib karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam memerintahkannya sebagaimana dalam hadits Ibnu ‘Abbas di atas. Akan tetapi setelah turunnya kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan maka hukum wajib ini dimansukh (terhapus) menjadi sunnah sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits Aisyah radhiallahu ‘anha.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarh Muslim (8/6), “Para ulama telah bersepakat bahwa puasa pada hari ‘Asyuro` hukumnya sekarang (yaitu ketika telah diwajibkannya puasa Ramadhan) adalah sunnah dan bukan wajib”. Dan ijma’ akan hal ini juga telah dinukil oleh Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah sebagaimana dalam Fathul Bary (2/246)
"Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat" [HR. Bukhari dari Kitabul Adzan]
1. Shalat dengan mengenakan baju ketat sehingga menggambarkan lekuk tubuh
Rasulullah ketika melihat Jabir bin Abdullah datang kepadanya malam hari lalu dia sholat malam bersamanya, sedangkan waktu itu dia hanya menyelimutkan pakaian yang sempit sehingga membentuk semua tubuhnya, beliau menasehati : "Jika pakaian itu sempit, jadikanlah sarung (ikatkan kainmu mulai diatas perut sampai ke bawah), jika kainmu luas sekali, maka selimutkan ke seluruh anggota badan." [HR. Bukhari dalam Kitabus Sholat]
Imam Syafi'i berkata : "Jika orang sholat memakai baju tipis sehingga kelihatan kulitnya, maka tidak sah sholatnya." [Kitab Al-Umm 1/78]
Syaikh al-Albaniy berkata bahwa celana ketat itu mendatangkan dua macam musibah:
Musibah pertama, bahwa orang yang memakainya menyerupai orang-orang kafir. Sedangkan Kaum Muslim memang memakai celana, akan tetapi model celana yang lebar dan longgar. Ummat Islam baru mengenal celana ketat setelah mereka dijajah bangsa eropa. Pengaruh buruk itulah yang diwariskan oleh kaum penjajah kepada ummat Islam. Akan tetapi karena kebodohan ummat Islam sendiri, mereka mengambil tradisi buruk tersebut.
Musibah kedua, celana ketat menyebabkan bentuk aurat terlihat dengan jelas. Memang benar bahwa aurat pria adalah anggota badan antara pusar dan lutut. Namun seorang hamba yang sedang melakukan shalat dituntut untuk berbuat lebih dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat (dalam masalah busana ini, lihat Al Qur’an Surah 7:31-pen-). Tidak pantas dia melakukan maksiat kepada ALLAH ketika sedang sujud bersimpuh di hadapan-Nya. Ketika dia mengenakan celana ketat, maka kedua pantatnya akan terbentuk dengan jelas. Bahkan lebih dari itu, bagian tubuh yang membelah keduanya juga terlihat nyata !
Komite Tetap Pembahasan Masalah ‘Ilmiyyah dan fatwa Saudi Arabia (semacam MUI di Indonesia -pen-) menjawab pertanyaan mengenai hukum Islam tentang shalat memakai celana. Jawaban yang dirumuskan adalah sebagai berikut: “Jika pakaian tersebut tidak menyebabkan aurat terbentuk dengan jelas, karena modelnya longgar dan tidak bersifat transparan sehingga anggota aurat tidak bisa dilihat dari arah belakang, maka boleh dipakai ketika shalat. Namun apabila busana itu terbuat dari bahan yang tipis sehingga memungkinkan aurat yang memakai dilihat dari belakang, maka shalat yang dikerjakan batal hukumnya. Jika sifat busana yang dipakai hanya mempertajam atau memperjelas bentuk aurat saja, maka makruh mengenakan busana tersebut ketika shalat. Terkecuali jika tidak ada busana lain yang dapat dikenakan. Wa billahi al taufiq.
Pertama : Jumlah raka'at shalat Id ada dua berdasaran riwayat Umar radhiyallahu 'anhu.