Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu :
Pendapat pertama : Jumhur ulama berpendapat harom hukumnya membaca al-Qur’an, berdasarkan hadits:
1. Hadits Ibnu Umar :
لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَالْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ
Artinya : “(Tidak boleh) bagi seorang yang junub dan wanita haid, membaca Al-Qur’an sedikitpun”
2. Hadits Ali yang diriwayatkan oleh semua pemilik kitab sunan, yaitu :
أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَحْجُبُهُ عَنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ لَيْسَ الْجَنَابَةَ
Artinya : “Sungguh tidak ada sesuatu apapun yang menghalangi Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam untuk membaca Al-Qur’an selain junub”
3. Hadits Ali :
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثُمَّ قَرَأَ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ ثُمَّ قَالَ هَذَا لِمَنْ لَيْسَ بِجُنُبٍ فَأَمَّا الْجُنُبُ فَلَا وَلَا آيَةَ
Artinya : “Aku melihat Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berwudhu kemudian membaca Al-Qur’an, lalu berkata : beginilah bagi orang yang tidak junub. Adapun kalau junub maka tidak boleh membaca Al-Qur’an walaupun satu ayatpun “ HR Ahmad dan Abu Ya’la.
4. Hadits Ali :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْرِئُنَا الْقُرْآنَ عَلَى كُلِّ حَالٍ مَا لَمْ يَكُنْ جُنُبًا
Artinya : “Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an dalam setiap keadaan kecuali junub. “ HR Tirmidzi
Pendapat kedua : Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam satu riwayat, Dawud Dhohiri dan para pendukungnya, Sa’id bin Jubair, Ikrimah, Al-Bukhori, Ibnu Jarir At-Thobari, Ibnul Mundzir dan An-Nakho’i berpendapat bolehnya membaca Al-Qur’an, berdasarkan dalil :
1. Hukum asal tidak ada larangan untuk membaca Al-Qur’an, maka barang siapa yang melarang membaca, ia harus mendatangkan dalil (bukti).
2. Hadits Aisyah :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
Artinya : “ Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam berdzikir kepada Alloh tiap saat” (HR. Muslim)
Dalam hadits ini secara dhohir menunjukkan bahwa beliau shollallohu alaihi wa sallam juga membaca Al-Qur’an ketika dalam keadaan junub, karena lafadz (عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ = tiap saat) mencakup juga pada waktu keadaan junub dan lafadz (يَذْكُرُ اللَّهَ = berdzikir kepada Alloh) mencakup juga membaca Al-Qur’an.
3. Hadits Aisyah :
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَذْكُرُ إِلَّا الْحَجَّ فَلَمَّا جِئْنَا سَرِفَ حِضْتُ … فَقَالَ افْعَلِي مَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
Artinya : “Kami keluar bersama Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam untuk menunaikan ibadah haji, maka ketika kami sampai di desa Sarof, aku (Aisyah) mengalami haid lalu beliau shollallohu alaihi wa sallam bersabda : Kerjakanlah sebagaimana yang dikerjakan oleh orang haji kecuali thowaf di Ka’bah sampai engkau suci.” HR.Bukhori
Dan pendapat yang kedua inilah yang paling kuat. Apapun dalil-dalil yang dipakai oleh pengikut pendapat pertama, bisa dijawab sebagai berikut :
1. Hadits point (1)
Hadits tersebut dikeluarkan oleh At-Tirmidzi no 131 dan selainnya, yaitu dari jalan periwayatan Ismail bin Iyyas dari Musa bin Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar secara marfu’. Tetapi jika Ismail bin Iyyas meriwayatkan dari selain ulama dari Syam, haditsnya dhoif. Sedang Musa bukan termasuk ulama dari Syam tetapi dari Hijaz. Oleh karena itulah Al-Baihaqi dalam kitab Al-Ma’rifah berkomentar : “ Ini adalah hadits yang hanya Ismail bin Iyyas saja yang meriwayatkan, sedang hadits yang diriwayatkan dari ulama negeri Hijaz adalah dhoif. Maka hadits tersebut tidak bisa dipakai hujjah/ dalil.
Dan yang senada dengan perkataan Al-Baihaqi ini adalah pendapat Al-Bukhori dan Imam Ahmad, sebagaimana dalam kitab Tuhfadzul Ahwadzi. Ini adalah ‘illah (cacat) yang pertama, sedangkan ‘illah (cacat) yang kedua adalah :
Berkata Abu Hatim dalam kitab “Illalnya : “ Aku mendengar bapakku dan dan ia menyebut Ismail bin Iyyas ini, lalu berkata : “Ismail bin Iyyas telah salah, karena hal itu tidak lain melainkan hanya perkataan Umar saja”
2. Hadits point (2)
Hadits ini juga dhoif, karena di jalan periwayatannya ada perowi yang bernama Abdulloh bin Salamah yang bersendirian dalam periwayatannya, sedangkan di akhir umurnya ia berubah (kacau hafalannya).
Asy-Syu’bah berkata : “Kami mengetahui Abdulloh bin Salamah dan kami mengingkari dia.” Yaitu Abdulloh bin Salamah yang telah tua umurnya ketika berjumpa dengan Amr bin Murroh , sedangkan ia meriwayatkan hadits darinya (Amr bin Murroh).
Al-Bukhori menceritakan bahwa Amr bin Murroh berkata : “Abdulloh bin Salamah meriwayatkan hadits dari kami, kami mengetahuinya dan kami mengingkarinya, lagi pula ia telah tua dan tidak ada yang mengikuti haditsnya.”
3. Hadits point (3)
Hadits tersebut dhoif, karena mempunyai dua cacat.
Pertama dalam jalan periwayatannya ada Amir bin As-Simthi, yaitu dia majhul (tidak dikenal).
Kedua : hadits tersebut mauquf.
Ad-Daruquthni dan yang lainnya mengeluarkan hadits tersebut dari jalan periwayatan Abdul Ghorif dari Ali secara marfu’. Tetapi Abdul Ghorif orangnya majhul (tidak dikenal).
4. Hadits yang point (4)
Merupakan hadits yang hanya diriwayatkan oleh Abdulloh bin Salamah, sedangkan keadaan dia telah tersebut di atas.
Hadits yang senada diriwayatkan oleh Jabir yang dikeluarkan oleh Ad Daruquthni secara marfu’. Tetapi dalam periwayatannya ada perowi yang bernama Muhammad bin Fadl yang matruk (ditinggalkan haditsnya).
Dan juga secara mauquf tetapi dalam periwayatannya ada perowi yang bernama Yahya bin Abi Anisah yang pendusta,.
Kesimpulannya hadits yang dipakai pendapat pertama semuanya dhoif (lemah). Sehingga gugurlah berdalil dengan hadits-hadits tersebut bahwa harom hukumnya membaca Al-Qur’an bagi orang yang junub dan haid. Oleh karena itu, wajib merujuk kembali pada hukum asal yaitu boleh membaca Al-Qur’an.
Maka daripada itu Ibnu taimiyyah berkata : “ Tidak ada satu haditspun yang shohih yang menjelaskan haromnya membaca Al-Qur’an bagi orang yang junub atau haid, karena hadits “ Tidak boleh bagi seorang yang junub dan wanita haid membaca Al-Qur’an sedikitpun “, merupakan hadits dho’if (lemah) berdasarkan kesepakatan ulama-ulama yang mengetahui tentang hadits. Sungguh para wanita pada zaman Nabi shollallohu alaihi wa sallam juga mengalami haid, jadi seandainya membaca Al-Qur’an itu diharomkan kepada yang sedang haid sebagaimana sholat, tentu hal itu akan dijelaskan oleh Nabi shollallohu alaihi wa sallam kepada umatnya dan istri-istri beliaupun tentu akan mengetahuinya, serta yang demikian itu akan dinukil oleh para sahabat. Maka tatkala tidak ada seorangpun yang menukilkan dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam tentang larangan tersebut, tidak boleh menghukumi harom karena beliau shollallohu alaihi wa sallam tidak melarangnya. Apabila beliau tidak melarangnya sedang pada saat itu banyak wanita haid, maka kita ketahui bahwa hal itu tidak harom.”
Namun yang demikian itu tidak terlepas dari afdol (utama) atau tidak. Dan yang paling utama adalah tidak membaca Al-Qur’an dalam keadaan junub atau haid, berdasarkan hadits :
إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَوْ طَهَارَةٍ
Artinya : “Sungguh aku tidak suka berdzikir kepada Alloh dalam keadaan tidak suci (dari hadats kecil maupun besar)”.
Walaupun hadits ini kejadiannya dilatar belakangi dalam hal menjawab salam, tetapi Al-Qur’an lebih ditekankan lagi. Adanya hukum makruh tidak meniadakan hukum boleh, karena makruh adalah meninggalkan perkara yang afdol (utama) sebagaimana perkataan An-Nawawi.
Maroji’ : Al-Muhalla I/no.116; Al-Ausath II/96; Nailul Author I/335-336; Irwaul Gholil I/160; Al-Majmu’ II/358; Tuhfadzul Ahwadzi I/342; Majmu’ Fatawa 21/36; Tamamul Minnah 117-119.
***
Ditulis kembali dari Terjemah kitab Adz-Dzakhirotun Nafiisah Fii Ahkamil Ibadaat, Abul Harits Kholiiful Hadi