Kategori Fiqh

Pemahaman muslimin mengenai praktik-praktik ibadah berdasarkan Syariat
Kajian Bertema Fiqh

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab: خلاصة الكلام على عمدة الأحكام
Karya: Syaikh Abdullah Alu Bassam Rahimahullah
Solo, 22 Dzulqa’dah 1446 / 20 Mei 2025
Bersama Ustadz Mohammad Alif, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 [Staff Pengajar Ma'had Imam Bukhari Solo]
Tempat: Masjid Al-Ikhlash Jl. Adi Sucipto - Kerten Solo

Bab: Hukum Melewati Orang yang sedang Shalat

Hadits#103:

Hadits dari Abu Juhaim Al Anshari, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ مِنَ الإِْثْمِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ

“Andaikan seseorang yang lewat di depan orang yang shalat itu mengetahui dosanya perbuatan itu, niscaya diam berdiri selama 40 itu lebih baik baginya dari pada lewat” (HR. Al Bukhari 510, Muslim 507)

Perawi, Abu Nadr mengatakan aku tidak tahu apakah 40 hari, atau 40 bulan atau 40 tahun.

Dalam hadits ini ada beberapa faedah penting :

  1. Haram melewati di depan orang yang sedang shalat dimana tidak ada sutrah ataupun tidak.
  2. Hendaknya diutamakan bagi orang yang shalat menjauhi tempat lalu lalangnya orang.
  3. Rawi ragu tentang ucapan 40 hari, atau 40 bulan atau 40 tahun. Tapi jumlah ini bukan batasan, tapi untuk melarang dengan larangan yang keras.

Syaikh bin Baz rahimahullahu berkata, adapun orang yang melewati di depan orang shalat yang tanpa sutrah jauh di depannya maka ia selamat dari hal ini, karena itu dikatakan bukan lewat di depan orang shalat.

Hukum Shalat tanpa Sutrah

Sabda Nabi ﷺ:

لَا تُصَلِّ إِلَّا إِلَى سُتْرَةٍ، وَلَا تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ، فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ؛ فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِينَ

Janganlah shalat kecuali menghadap sutrah, dan jangan biarkan seseorang lewat di depanmu, jika ia enggan dilarang maka perangilah ia, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan)” (HR. Ibnu Khuzaimah 800, 820, 841. Al Albani dalam Sifatu Shalatin Nabi (115) mengatakan bahwa sanadnya jayyid, ashl hadist ini terdapat dalam Shahih Muslim).

Hukum bagi Imam meletakkan sutrah di depannya atau shalat sendirian adalah sunnah muakkadah menurut kesepakatan ulama, tetapi sebagaian ulama mengatakan wajib berdasarkan hadits di atas.

Hadits#104:

Dari Abu Sa’id al-Khudri -Radhiyallahu ‘anhuma-, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا وَلاَ يَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا فَإِنْ جَاءَ أَحَدٌ يَمُرُّ فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ

“Jika salah seorang dari kalian shalat hendaklah menghadap kepada sutrah dan hendaklah dia mendekat ke sutrah. Janganlah engkau membiarkan seorangpun lewat di antara engkau dengan sutrah. Jika ada seseorang melewatinya, hendaklah engkau menahannya, karena sesungguhnya dia itu syetan.”

📖 HR. Ibnu Abi Syaibah di dalam al-Mushannaf (1/279), Abu Dawud di dalam as-Sunan no. (297), Ibnu Majah di dalam as-Sunan no. (954), Ibnu Hibban di dalam ash-Shahih (4/ 48-49 al-Ihsan), al-Baihaqi di dalam as-Sunanul-Kubra (2/ 267). Dan sanadnya hasan.

  • Makna فَلْيُقَاتِلْهُ maka hendaknya engkau membunuhnya, maksudnya menahan dengan kuat supaya tidak melewatinya.
  • Makna فَإِنَّهُ شَيْطَانٌ maka sesungguhnya dia syaithan, maksudnya bersama dia ada syaithan. Karena itu perbuatan setan.

Dalam hadits ini ada beberapa faedah:

  1. Anjuran bagi orang yang shalat hendaknya di depannya ada sutrah dan hendaknya dekat dengannya, supaya shalatnya terjaga.
  2. Haram hukumnya lewat di depan orang yang sedang Shalat karena itu perbuatan syaithan.
  3. Hadits ini juga menjelaskan bolehnya melakukan sesuatu di luar shalat untuk kemaslahatan shalat. Dalam hal ini, mencegah orang yang hendak melewati di depan orang shalat.
  4. Mendekat ke sutrah, juga mengindikasikan bolehnya melangkah mendekat sutrah jika sutrahnya hilang. Seperti orang yang ada di hadapan kita pergi.

Hadits#105:

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الاِحْتِلاَمَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَىْ بَعْضِ الصَّفِّ وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ ، فَدَخَلْتُ فِى الصَّفِّ ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَىَّ

“Aku pernah datang dengan menunggang keledai betina, yang saat itu aku hampir menginjak masa baligh, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat di Mina tanpa menghadap dinding. Maka aku lewat di depan sebagian shaf kemudian aku melepas keledai betina itu supaya mencari makan sesukanya. Lalu aku masuk kembali di tengah shaf dan tidak ada seorang pun yang menyalahkanku” (HR. Bukhari no. 76, 493 dan 861).

  • Makna أَتَانٍ adalah keledai betina.

Perbuatan Ibnu abbas dibiarkan Nabi ﷺ, menunjukkan taqrir nabi yaitu Nabi ﷺ menyetujui perbuatan Abdullah, dan ini menjadi hukum.

Dalam hadits ini ada beberapa faedah:

  1. Lewatnya keledai di depan orang yang sedang Shalat tidak membatalkan shalat.
  • Dalam riwayat Muslim, sesuatu tidak membatalkan shalat kecuali: wanita, khimar dan anjing hitam.
  • Sedangkan dalam hadits ini keledai yang melewati adalah di depan makmum, bukan imam (Nabi ﷺ) maka tidak membatalkan shalat,
  • Dalam riwayat Muslim disebutkan sutrahnya imam adalah sutrah bagi makmum, kalau seandainya khimar melewati depan Nabi ﷺ, maka shalatnya batal.
  1. Sesuatu yang haram belum tentu najis.
  • Khimar ahliyah yang dipelihara dan ditunggangi, haram dimakan. Dan ini tidak najis. Tetapi, jika khimar hidup bebas, halal dimakan.
  • Seperti juga khamr haram, tetapi tidak najis.
  1. Sahnya shalat anak-anak kecil. Dan boleh satu shaf dengan orang dewasa.
  2. Taqrir Nabi ﷺ dibolehkan dalam syariat.
  3. Dalam hadits tanpa menghadap dinding bukan berarti tanpa sutrah, karena bisa jadi menggunakan tombak, panah, pedang atau lainnya.

Hadits#106:

عن عائشة رضي الله عنها قالت: «كنت أنام بين يَدَيْ رسول الله صلى الله عليه وسلم ورِجْلايَ فِي قِبْلَتِهِ، فإذا سجد غَمَزَنِي، فقَبَضتُ رِجْلَيَّ، فإذا قام بَسَطْتُهُمَا، والبيوت يومئذ ليس فيها مصابيح».
[صحيح] - [متفق عليه]

Dari Aisyah -raḍiyallahu 'anhā-, ia berkata, "Saya pernah tidur melintang di hadapan Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan kedua kakiku tepat di kiblat beliau. Jika beliau hendak sujud, maka beliau meraba kakiku dan aku pun menarik kedua kakiku. Dan ketika berdiri, maka akupun meluruskan keduanya. Saat itu tidak ada lampu di rumah."
[Hadis sahih] - [Muttafaq 'alaih]

Dalam hadits ini ada beberapa faedah:

  1. Bolehnya seseorang tidur di hadapan orang shalat meskipun wanita, jika ada hajat.
  2. Dalil menyentuh wanita tanpa alas tidak membatalkan wudhu. Karena Nabi ﷺ menyentuh kaki Aisyah dan tidak membatalkan shalat. Selama, sentuhan tidak dibarengi syahwat.

Ada 3 pendapat menyentuh wanita:

  1. Tidak membatalkan wudhu tanpa syahwat.
  2. Tanpa syahwat atau dengan syahwat tidak membatalkan wudhu selama tidak keluar sesuatu dari kemaluan. (Ini pendapat paling kuat).
  3. Membatalkan wudhu tanpa syahwat atau dengan syahwat, ini pendapat Syafi'i yah.

 

  1. Gerakan Nabi ﷺ menyentuh Aisyah adalah gerakan yang tidak membatalkan atau mengurangi pahala shalat karena ada kebutuhan.
  2. Jika wanita didepan orang shalat dan tidak melewati atau hanya diam saja, tidak membatalkan shalat.
  3. Menggambarkan rumah Nabi ﷺ yang sempit, sehingga saat shalat menyentuh Aisyah yang sedang tidur.

Hadits 107: Anjuran Shalat Tahiyyatul Masjid

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – : (( إِذَا دَخَلَ أحَدُكُمُ المَسْجِدَ ، فَلاَ يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ )) متفقٌ عَلَيْهِ.

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah ia langsung duduk sampai mengerjakan shalat dua rakaat.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 444 dan Muslim, no. 714]

Dalam hadits ini ada beberapa faedah:

  1. Dianjurkan shalat tahiyyatul masjid saat memasuki masjid kapan saja waktunya, meskipun pada waktu terlarang shalat.
  • Shalat di waktu terlarang dibolehkan karena ada sebab yaitu masuk masjid.
  1. Sebagian ulama menjelaskan kecuali Masjidil Haram, diganti dengan thawaf, sebagian ulama menjelaskan hukumnya umum, thawaf hanya yang datang pertama kali saja, selanjutnya tetap disunnahkan shalat tahiyatul masjid di Masjidil Haram.

Hadits 108: Larangan Berbicara dalam Shalat

وعَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ رضي الله عنه قَالَ: إنْ كُنَّا لَنَتَكَلَّمُ فِي الصَّلاَةِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، يُكلِّمُ أَحَدُنَا صَاحِبَهُ بِحَاجَتِهِ، حَتَّى نَزَلَتْ: {{حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ *}} [البقرة: 238] ، فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ، وَنُهِينَا عَنِ الْكَلاَمِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللّفْظُ لِمُسْلِمٍ.

Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami benar-benar pernah berbicara dalam shalat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah seorang di antara kami berbicara kepada temannya karena sebuah keperluan, lalu turunlah ayat, ‘Peliharalah segala shalatmu dan shalat yang tengah dan berdirilah untuk Allah dengan khusyuk.’ Lalu kami diperintahkan untuk diam dan kami dilarang untuk berbicara.”

(Muttafaqun ‘alaih, lafaznya menurut Muslim) [HR. Bukhari, no. 1200 dan Muslim, no. 539]

Dalam hadits lain, Dari Mu’awiyah bin Al-Hakamn As-Sulami, ia berkata,

بَيْنَا أَنَا أُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ. فَرَمَانِى الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَىَّ. فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِى لَكِنِّى سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبِأَبِى هُوَ وَأُمِّى مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلاَ بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِى وَلاَ ضَرَبَنِى وَلاَ شَتَمَنِى قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ »

“Suatu saat aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada seseorang dari kaum yang bersin. Aku kemudian membalas ucapan tahmidnya, ‘Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu).’ Orang-orang lantas memandangiku, aku malah menjawab, ‘Kenapa kalian memandangiku seperti itu?’ Mereka lantas menepuk paha mereka. Ketika aku melihat mereka, mereka memaksudkan agar aku diam, lantas aku pun diam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, aku berkata, ‘Demi ayahku dan ibuku, aku tidaklah pernah melihat pengajar sebelum atau sesudahnya yang lebih baik dalam mendidik selain dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demi Allah, beliau sama sekali tidak berkata keras, tidak memukul, dan tidak mencelaku.’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya shalat ini tidak layak di dalamnya ada suatu perkataan manusia. Ia hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al-Qur’an.” (HR. Muslim, no. 537)

Dalam hadits di atas ada beberapa faedah:

  1. Dulu, awalnya shalat boleh berbicara, kemudian turunlah ayat yang melarangnya dan membatalkan shalat.
  2. Maksud dari qunut adalah diam dan tenang.
  • Makna qunut: taat, lama berdiri, diam, do'a dan khusyuk.
  1. Seorang yang shalat adalah sedang menghadap Allah ﷻ, maka diam dan tenang, kecuali jahil.

Kalam di shalat adalah yang diucapkan dengan lisan mencakup :

  1. Berbicara karena lupa. Maka, tidak membatalkan shalat.
  2. Berdehem (nahnahah) bukan termasuk berbicara. Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa kalam yang membatalkan shalat adalah yang memiliki makna.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

  • Media
    Sarana belajar Agama Islam melalui video dan audio kajian dari Asatidz Indonesia yang bermanhaj salaf...
    Ebook
    Bahan bacaan penambah wawasan berupa artikel online maupun e-book yang bisa diunduh. Ebook Islami sebagai bahan referensi dalam beberapa topik yang insyaAllah bermanfaat.
  • image
    Abu Hazim Salamah bin Dînâr Al-A’raj berkata, “Setiap nikmat yang tidak mendekatkan kepada Allah, maka hal tersebut adalah ujian/petaka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyâ dalam Asy-Syukr Lillâh]
    image
    ‘Ammâr bin Yâsir radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,“Ada tiga perkara, siapa yang mengumpulkannya, sungguh dia telah mengumpulkan keimanan: inshaf dari jiwamu, menebarkan salam kepada alam, dan berinfak bersama kefakiran.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry secara Mu’allaq dan Al-Baihaqy]

Share Some Ideas

Punya artikel menarik untuk dipublikasikan? atau ada ide yang perlu diungkapkan?
Kirim di Sini