Sering terjadi diskusi atau debat tentang boleh dan tidaknya seorang da’i yang menjelaskan masalah bid’ah dimajlis majlis ‘ilmu dan tentu saja debat ini terjadi diantara para pendukung sunnah melawan pendukung bid’ah, simpatisan atau para da’i yang gandrung dengan bid’ah-bid’ah yang digemari oleh kebanyakan manusia, dan mereka tidak ingin ditinggalkan pengikutnya.
Seakan-akan sudah menjadi kaidah yang disepakati diantara mereka (walaupun tidak diucapkan) bahwasanya pembahasan masalah-masalah bid’ah akan membuat manusia lari dan menjauh dari mereka, dan memecah belah persatuan ummat islam, maka demi terlaksananya dakwah maka tidak perlu hal-hal tersebut diangkat dihadapan manusia.
Satu contoh jawaban yang sering mereka lontarkan ketika ditanya “apakah melafadzkan niat itu bid’ah atau sunnah ?” maka mereka menjawab “Tidak perlu sibuk dengan hal itu, semua benar yang salah adalah yang tidak sholat !”.
Jawaban seperti ini seolah olah sebagai jurus penyelamat bagi mereka supaya tidak di tinggalkan oleh pengikutnya, dan ternyata jawaban seperti ini sangatlah ampuh sehingga orang yang mendengarnya akan mengatkan padanya ini adalah seorang ustadz/kyai yang tidak kolot, sesuai dengan keadaan dan menyatukan dan tidak memecah belah ummat, dan mampu memberi solusi tepat tidak menyusahkan.
Kenyataan seperti ini sangat disayangkan dan sangat bertolak belakang dengan prinsip agama Islam, dikarenakan beberapa hal :
Amar ma’ruf nahi munkar adalah tugas setiap da’i, yaitu menerangkan hal-hal yang ma’ruf supaya bisa diamalkan oleh manusia, dan memberi peringatan hal-hal yang munkar (bid’ah misalnya) supaya ditinggalkan dan dijauhi, inilah hakekat da’wah yang sebenarnya, apabila seorang da’i tidak melarang arau memperingatkan manusia dari bahaya bid’ah maka yang dilakukan hanya amar ma’ruf saja sedangkan nahi mungkar ditinggalkan.
Tugas wajib bagi pembawa risalah adalah memberi peringatan kepada manusia dan menjelaskan semua bid’ah supaya dijauhi oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
“Jauhilah oleh kalian setiap perkara yang baru (dalam agama), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah (HR.Tirmidzi no.2676, Abu Dawud 4/200)
Oleh karena itu seorang yang mengetahui semua kebaikan tidak ada jaminan baginya selamat dari kesesatan apabila tidak mengetahui kesesatan itu, dengarlah sebuah sya’ir hikmah berikut ini :
“ Aku mengetahui kejelekan bukan untuk kejelekan akan tetapi untuk menjaga diri”
“siapa yang tidak bisa membedakan suatu kebaikan dari kejelekan maka jatuh padanya”
Termasuk kewajiban mubaligh adalah menyampaikan amanat Allah ta’ala diantaranya memberi peringatan kepada manusia tentang bahaya bid’ah. Dan sebaliknya seorang da’i yangtidak memberi peringatan bahaya bid’ah adalah bukan mubaligh yang sebenarnya, sebagaimana Allah ta’ala berfirman :
“Wahai rasul sampaikan apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan jika tidak kamu kerjakan kamu tidak menyampaikan amanatnya” (QS.Al Maidah 67)
Barangsiapa menentang sunnah dan mengadakan suatu bid’ah maka dia akan binasa, sebagaimana sabda dan wasiat Nabi kita shalallahu ‘alaihi wassalam :
“Sungguh aku telah tinggalkan buat kalian berada diatas (kejelasan) yang putih, malam harinya sepeti siang, tidak ada orang yang menyimpang darinya kecuali dia pasti binasa, siapa saja yang hidup setelahku, pasti menjumpai perselisihan yang sanagt banyak, maka kalian harus mengambil apa yang kalian ketahui dari sunnahku dan sunnah para khalifah (setelahku) yang telah mendapatkan petunjuk, dan gigitlah (peganglah sunnah itu) erat erat dengan geraham kalian” (HR. Ibnu Majah no.43)
Disalin dari Penjelasan Gamblang Seputar Hukum Yasinan Tahlilan dan Selamatan . oleh Al Ustadz Abu Ibrahim Muhammad Ali bin A. Muntholib,penerbit Pustaka Al Ummat