Agar anda tidak salah paham......
Akhir-akhir ini banyak pertanyaan atau lebih tepatnya cibiran yang dialamatkan kepada dakwah salafiyah yang penuh berkah ini, mereka berkata: " mengapa kaum salafi tidak mau mengikuti demokrasi tapi ridho dengan kepemimpinan yang dihasilkan darinya??? ...mereka juga berkata: "Katanya haram kok hasilnya jadi halal??? Kalian kontradiktif " begitulah mereka mencibir kaum salafy...
Lalu bagaimana penjelasannya????
Begini,...manhaj salaf adalah manhaj lurus yang dibangun di atas ilmu dan dalil, bukan karena hawa nafsu atau karena ikut arus manusia.
Silakan dipahami kaidah berikut ini:
أحكام الشروع ،غير أحكام الوقوع" و "أحكام الابتداء غير أحكام الأثناء أو الانتهاء"
Ahkam asy-syuru' ghair ahkaam al-Wuquu' ( Hukum permulaan berbeda dengan hukum setelah kejadian)
Kaidah ini menjelaskan kepada kita bahwa hukum sesuatu di awal perkara berbeda dengan setelah terjadi perkara itu.
Bagaimana menerapkan kaidah ini?
- Contoh pertama: kepemimpinan budak
Hukum budak atau hamba sahaya menjadi pemimpin adalah haram berdasarkan ijma' kaum muslimin.
Al-imam Ibn Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata:
وأجمعت الأمة على أنها لا تكون في العبيد
ummat islam telah berijma' (bersepakat) bahwa kepemimpinan tidak boleh dipegang oleh seorang budak (Al-imam Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1379), vol. 13 hal.122)
Jadi seorang budak atau hamba sahaya tidak boleh menjadi pemimpin..,,ini adalah hukum permulaan (ahkam asy-syuru')
Akan tetapi jika terjadi sebuah fenomena bahwa kaum budak telah berhasil menjadi seorang pemimpin, dengan jalan militer atau selainnya, kemudian memiliki kekuatan, memiliki teritorial dst.....maka wajib ditaati, untuk mencegah terjadinya gejolak kekacauan dan menjaga agar tidak terjadi pertumpahan darah di kalanagn kaum muslimiin, inilah ahkam wuqu' (hukum setelah kejadian).
Maka dari itulah nabi berwasiat:
وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكَ عَبْدٌ
"Mendengar dan taatlah kepada pemimpin meskipun dia adalah budak dari habasyah"”. (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih
Nabi berkata seperti itu padahal seorang budak tidak boleh memegang tampuk kepemimpinan, bagaimana dia menjadi pemimpin? Padahal dia sendiri tidak memiliki dirinya, dia milik tuannya...tapi jika sudah terjadi..,. ada seorang budak menjadi pemimpin, maka nabi menyuruh wajib untuk ditaati...
Imam ibn Hajar juga berkata:
وأما لو تغلب عبد حقيقة بطريق الشوكة فإن طاعته تجب إخمادا للفتنة ما لم يأمر بمعصية
Dan adapun jika seorang budak secara nyata berhasil menguasai dengan jalan asy-syaukah maka wajib ditaati demi memadamkan api fitnah selama tidak menyuruh maksiat. (Al-imam Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1379), vol. 13 hal.122).
Al-Imam Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,
“Jika seorang budak secara nyata berhasil menguasai secara paksa dengan kekuatannya, maka taat kepadanya adalah wajib dalam rangka memadamkan gejolak fitnah (kekacauan) dan menghindari pertumpahan darah, selama dia tidak memerintahkan kepada maksiat” (al-Imam Amin asy-syinqithi, adwa' al-bayan (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H), hal. 27).
- Contoh kedua: Masalah pemberontakan atau kudeta
Para ulama' ahlus sunnah menyatakan bahwa hukum kudeta dan pemberontakan kepada pemimpin muslim hukumnya haram....ini hukum syuru' (hukum permulaan),
akan tetapi jika terjadi kudeta dan pemimpin yang dikudeta telah tersingkir dari pemerintahannya, kemudian datang pemimpin baru hasil kudeta yang memiliki kekuatan dan penguasaan terhadap negara, maka wajib diridhoi dan ditaati selama dalam hal ma'ruf,...untuk mencegah terjadinya kobaran fitnah dan bencana,,,ini akhkam al-Wuqu'.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah, mencantumkan ucapan imam Ibnu Baththal, beliau berkata:
وَقَدْ أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى وُجُوبِ طَاعَةِ السُّلْطَانِ الْمُتَغَلِّبِ وَالْجِهَادِ مَعَهُ وَأَنَّ طَاعَتَهُ خَيْرٌ مِنَ الْخُرُوجِ عَلَيْهِ لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ حَقْنِ الدِّمَاءِ وَتَسْكِينِ الدَّهْمَاءِ
“Para fuqaha sepakat bahwasanya wajib taat kepada penguasa yang menaklukkan secara paksa dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya taat kepadanya lebih baik daripada melakukan pemberontakan terhadapnya, dalam rangka mencegah pertumpahan darah dan menenangkan masyarakat” (imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, 13/7).
Di antara bukti nyata adalah setelah jatuhnya dinasti umawiyah karena dikudeta oleh bani Abbasiyah dan bani umaiyah telah tersingkir dari pemerintahan, maka para ulama pun berbaiat kepada bani Abbasiyah untuk mencegah kobaran fitnah dan gejolak kekacauan.
- Contoh ketiga: Hukum demokrasi menurut ulama salafiyun adalah terlarang karena bukan sistem islam,,, ini ahkam syuru' (permulaan)
Tetapi jika terjadi realita adanya calon muslim dan calon kafir, maka para ulama sunnah sepakat menolak sistem demokrasi, tapi meskipun dwmikian sebagian mereka memerintahkan untuk memilih yang muslim,..ini ahkam wuqu', dan memilih yang muslim bukan berarti ridho dengan demokrasi. Tapi sekedar menolak madhrat yg lebih besar, itupun dengan syarat dan ketentuan berlaku...tidak larut dan tdk turun serta di dalamnya.
- Contoh keempat dan inti pembahasan.: Ulama' Salafiyuuun menolak demokrasi (ahkam syuru')
Namun jika sudah terjadi demokrasi dan muncul pemimpin yang disepakati, maka salafiyun tetap mentaatinya selama dalam hal yang ma'ruf (Ahkam wuquu')
Jadi kudu bisa membedakan ahkam syuru' dan ahkam wuqu'
Semoga bermanfaat
Sumber: FB Ustadz Fadlan Fahamsyah Hafidzahullah.