Kata mutiara tersebut tidak hanya terucap dari seorang shahabat, dan diantara yang mengucapkannya ialah Abu Darda’ dan Abdullah bin Mas’ud –Radhiallahu anhuma- seperti yang disebutkan dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah (nomor114 dan 115), Assunnah karya Ibnu Nashr (hal 27-28), Al Ibanah (I/320) karya Ibnu Baththah,dan lain-lain.
Juga terdapat riwayat dari Ubay bin Ka’ab Radhiallahu anhu seperti disebutkan dalam Al Hujjah fi Bayan Al Mahajjah (I/111) dengan redaksi:
“Sesungguhnya sederhana dalam jalan hidup dan sunnah Nabi Shalallahu alaihi wa sallam adalah lebih baik daripada banyak tetapi menyalahi jalan hidup dan sunnah Nabi Shalallahu alaihi wa sallam. Maka lihatlah amal kamu, baik banyak maupun sedikit, agar yang demikian itu sesuai dengan jalan hidup dan sunnah nabi Shalallahu alaihi wa sallam”[1]
Itulah kata mutiara yang memberikan metode yang agung bagi seorang Muslim yang ingin mengikuti kebenaran dalam amal dan ucapannya agar sesuai dengan aturan syari’at. Kata mutiara tersebut disadur dari beberapa hadits shahih, diantaranya:
1. Sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam,
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ
“Hindarilah olehmu melampaui batas dalam agama”. [Hadits Riwayat Nasa’i :V/268, Ibnu Majah:3029, dan Ahmad : I/215&347, dengan sanad hasan]
2. Sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam,
أَحَبَُ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang berkesinambungan, meskipun sedikit.” [Hadits Riwayat Bukhary : I/109 dan Muslim no.782 dari Aiysah]
3. Sabda Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً ثُمَّ فَتْرَةً فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى بِدْعَةٍ فَقَدْ ضَلَّ وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّةٍ فَقَدِ اهْتَ
“Sesungguhnya setiap amal terdapat masa giat, dan disana ada masa jeda. Maka siapa yang jedanya kepada bid’ah sesungguhnya dia sesat, dan siapa yang jedanya kepada sunnah maka dia terbimbing.”[2]
Dan hadits-hadits lain.
Sungguh para shahabat -Radhiallahu anhum- dan tabi’in Rahimahumllahu ta’ala, benar-benar mengaplikasikan kaidah tersebut dengan sangat cermat. Mereka sangat antusias untuk mengikuti sunnah walau hanya dengan sedikit amal. Tidak hanya itu,tetapi mereka juga sangat jauh dari bid’ah, meskipun ada orang yang menyangka bahwa bid’ah itu terdapat tambahan kebaikan.
Abu Ahwash[3] berkata kepada dirinya sendiri ,”Wahai Sallam,tidurlah kamu menurut sunnah.Itu lebih baik daripada kamu bangun malam untuk melakukan bid’ah.”[4]
Dan Ibrahim An-Nalkha’i berkata, ”Seandainya para shahabat Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam mengusap kuku, niscaya aku tidak membasuhnya karena mencari keutamaan dalam mengikuti mereka.”[5]
Betapa indahnya firman Allah dalam menetapkan kaidah tersebut :
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya.” [Al Mulk/67 : 2]
Allah tidak mengatakan,” Yang banyak amalnya” sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsier dalam tafsirnya (IV/619).
Dan barangsiapa merasa sempit pada jalan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan jalan orang-orang mukmin terdahulu maka Allah tidak memberi kelapangan kepadanya.[6]
Diantara yang penting untuk diingatkan disini adalah cara menyimpulkan dalil yang salah oleh sebagian orang yang ditegur ketika melakukan bid’ah, seperti shalat yang tidak ada contohnya dalam Sunnah. Mereka menggunakan dalil,
اَرَاَيْتَ الَّذِيْ يَنْهٰىۙ ٩ عَبْدًا اِذَا صَلّٰىۗ
“ Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat?” [Al-Alaq/96 : 9-10]
Sungguh demikian ini cara menyimpulkan dalil yang batil dan pendapat yang salah tentang ayat Al Qur’an!!
Imam Abu Syamah dalam Al Baits (hal 114) berkata setelah menyebutkan beberapa hadits dan atsar yang melarang shalat yang tidak sesuai dengan Sunnah Nabi Shalallahu alaihi wa sallam, ” Apakah boleh bagi seorang Muslim bila mendengar beberapa hadits dan atsar ini, dia mengatakan, bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam melarang shalat dan bahwa Umar dan Ibnu Abbas, dikategorikan sebagai orang yang telah disebutkan dalam firmanNya:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَىٰ﴿٩﴾عَبْدًا إِذَا صَلَّىٰ
“Bagaimana pendapatmu tentang orang yang melarang, seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat” [Al-Alaq/96 : 9-10][7]
Demikian pula, setiap orang yang melarang sesuatu yang dilarang syari’at Islam tidak boleh dikatakan seperti ini. Sebab orang yang menggunakan dalil tersebut dengan menganggap baik setiap amalnya yang tidak sesuai dengan sunnah adalah orang bodoh yang merubah kitab Allah dan mengganti firmanNya. Sesungguhnya Allah telah mencabut kelezatan pemahaman akan maksud wahyu darinya tersebut”.
Dan dalam halaman 214, beliau (yakni Imam Abu Syamah) berkata: “Maka sungguh nyata dan jelas –dengan pertolongan Allah- kebenaran orang yang mengingkari hal-hal yang bid’ah, meskipun bid’ahnya berupa shalat dan memakmurkan masjid. Dan janganlah dia memperdulikan kebencian orang bodoh yang mengatakan : “Tidak mungkin Islam memerintahkan membatalkan shalat dan menghancurkan masjid?”
Sebab perumpamaan dia seperti orang yang mengatakan:“ Bagaimana diperintahkan menghancurkan masjdi?” Padahal telah maklum bahwa Nabi Shalallahu alaihi wa sallam pernah menghancurkan masjid Dhirar!!! Atau seperti orang yang mengatakan : “Bagaimana mungkin Islam melarang membaca Al Qur’an dalam ruku dan sujud?”
Padahal terdapat hadits shahih bahwa Ali Radhiyallahu anhu berkata:
وَإِنِّى نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا
“Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam melarang aku membaca Al Qur’an dalam ruku dan sujud.” [Hadits Riwayat Muslim]
Jadi mengikuti Sunnah lebih utama daripada mempertahankan bid’ah, meskipun berupa shalat. Sebab mengikuti sunnah lebih banyak faidahnya dan lebih besar pahalanya, meskipun kita menganggap bahwa dalam bentuk shalat tersebut terdapat pahala.”
Dan Allah-lah yang memberi taufik kepada kebenaran.
[Disalin dari kitab Al Ilmu Ushul Bida’ Dirasah Taklimiyyah Muhimmah Fi Ilmi Ushul Fiqh, Penulis Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, edisi Indonesia Membedah Akar Bid’ah, Penerjemah Asmuji Solihan Zamakhsyari, Penerbit Pustaka Al-Kautsar.
Footnotes
Artikel: almanhaj.or.id
Hemat di Atas Sunnah Lebih Utama daripada Giat di Atas Bidah, Benarkah?