Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tidak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah subhanahu wa ta’ala murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tetapkan.
Dalam mengarungi lautan hidup ini banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah hidup bagi setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil-kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun di antara mereka ada yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.
Kerikil dan duri-duri hidup itu demikian banyak dan untuk menyingkirkannya jelas membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut, jika seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah subhanahu wa ta’ala. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada orang yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?
Maka sebelum semua itu terjadi, sekarang kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha untuk menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut.
Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱلۡعَصۡرِ ١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, orang-orang yang saling nasihat-menasihati dalam kebaikan dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran.” (al-’Ashr: 1-3)
Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan masa, menunjukkan waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shalih dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang dimurkai Allah subhanahu wa ta’ala. Empat perkara yang disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.
Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalasah dan Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dan melawan hawa nafsu ketika dia memaksa agar kita terjerumus ke dalam kesesatan dan tersandung dengan batu dan duri-duri tersebut di tengah perjalanan.
Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan
Mengucapkan “saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya dengan itu kemudian seseorang menjadi sempurna imannya. Ketika seseorang memproklamirkan dirinya beriman, ia memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima. Demikianlah tuntutan dari iman tersebut. Artinya, mengikrarkan keimanan konsekuensinya adalah siap untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai ataupun tidak disukai.
Konsekuensi iman ini banyak macamnya. Kesiapan kita untuk menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah subhanahu wa ta’ala termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala juga konsekuensi iman. Menghamba di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan itu adalah konsekuensi iman. Mengamalkan seluruh syariat Allah subhanahu wa ta’ala itu merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara-perkara ghaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau itu merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang di larang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanaan syariat Allah subhanahu wa ta’ala, mencintai serta membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an,
الٓمٓ ١ أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣
“Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (al-’Ankabut: 1-3)
Al-Imam As-Sa’di dalam tafsir ayat ini mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya ada keimanan, tidak dibiarkan berada hanya dalam satu keadaan, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena jika seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya) niscaya tidak akan bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang pura-pura beriman. Dan tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhuma)
Jelasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Artinya, mengucapkan dengan lisan dan beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan di mana konsekuensinya itu adalah amal.
Amal
Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan yang demikian itu di dalam Al-Qur’an,
وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ أُعِدَّتۡ لِلۡمُتَّقِينَ ١٣٣
“Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 133)
Al-Imam As-Sa’di mengatakan dalam tafsirnya halaman 115, “Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga tersebut.”
Maka jelas melalui ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyeru hamba-hamba-Nya agar bersegera menuju amal kebajikan dan bersegera untuk mendapatkan kedekatan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan agar segera pula berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. (Lihat Bahjatun Nadzirin, 1/169)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ
“Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan.” (al-Baqarah: 148)
Al-Imam As-Sa’di dalam Tafsir-nya hal. 55 mengatakan, “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan. Karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Maka barangsiapa berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”
Dalam ayat ini, jelas sekali Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersegeralah kalian menuju amal shalih karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir. Dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan At-Tirmidzi)
Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya wajibnya kita berpegang dengan agama Allah subhanahu wa ta’ala dan bersegera untuk beramal shalih sebelum datang perkara-perkara yang akan menghalanginya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti dan ketika berakhir satu fitnah, akan muncul lagi fitnah yang lain. (Lihat Bahjatun Nadzirin, 1/170)
Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia maka Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shalih. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٣
“Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (al-Baqarah: 153)
Kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran, apakah amal kita pasti diterima?
Syarat Diterimanya Amal
Amal yang akan diterima Allah subhanahu wa ta’ala memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal yang demikian itu telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala sendiri di dalam Kitab-Nya dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut
Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
آ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari kedua dalil ini sangat jelas bagi kita bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua, amal tersebut sesuai dengan Sunnah (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“Dan barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “Yang penting kan niatnya”. Tidak demikian, harus ada kecocokan amal itu dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau istilah “yang penting niat” adalah benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya.
Hal ini akan mengundang banyak pertanyaan, di antaranya apabila seseorang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan istrinya, apakah perbuatannya bisa dibenarkan? Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya amalan itu. Oleh karena itulah sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalahnya bukanlah sekedar memperbanyak amal, akan tetapi adalah benar atau tidakkah amal tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗا
“Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup agar menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (al-Mulk: 2)
Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396)
Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah diucapkan Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri.
Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat “Laa ilaaha illallah – Muhammadar rasulullah.” Wallahu a’lam.