Ada banyak jalan dalam menggapai hidayah. Diantaranya adalah dengan mengambil pelajaran dari sejarah umat-umat terdahulu. Dan yang terbaik dari sejarah dan kisah orang-orang terdahulu, adalah orang-orang yang telah disucikan oleh Allah dan dibanggakan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam, dari kalangan Sahahbat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in.
Allan ta'ala berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah.” (QS At-Taubah [9] : 100).
Dan keridhaan Allah adalah mengikuti perjalanan mereka.
Dalam kajian ini, Ustadz Armen rahimahullah menekankan pentingnya mengambil pelajaran dari para Sahabat yang telah belajar langsung dari Nabi shallallahu alaihi wasallam. Diantaranya beliau menukil kisah dua orang sahabat yang mendapatkan hidayah dengan jalan yang berbeda, yang darinya patut untuk diambil pelajran.
Yang pertama adalah kisah Umair bin Wahb al-Jumahi yang dengan segala persiapannya datang menemui Nabi shallalahu alaihi wasallam untuk membunuh beliau, lalu hidayah datang kepadanya sehingga ia pun mengucapkan dua kalimat syahdat di hadapan Nabi shallallahu alaihi wassalam.
Yang kedua adalah kisah Tufail bin Amr ad-Dausi, seorang penyair kawakan pemimpin suku Daus yang akhirnya masuk Islam karena keindahan bahasa Al-Qur’an dan kebenaran yang dikandungnya, yang dibacakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Bagaimana kedua kisah itu berlangsung serta hikmah dan pelajaran apa yang terkandung di dalamnya? Silahkan simak selengkapnya pada kajian berikut ini.
{audio}http://www.archive.org/download/Ustadz_Armen_Halim_Naro_Kajian_Lain2/Kumpulan_ibroh_dlm_menggapai_hidayah_ust_Armen_Halim.mp3{/audio}
|
“Dan kami turunkan dari al-Qur-an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Al-Israa1: 82).
Menurut sebagian ahli tafsir, selain dapat menyembuhkan penyakit rohani dan hati, al-Qur-an dapat pula menyembuhkan penyakit jasmani dan fisik karena kata syifa’ (penawar) di dalam ayat ini bersifat umum.
Pendapat ini benar setelah dibuktikan oleh para ahli ruqyah beserta pasien mereka yang kisah-kisah pengobatan mereka ditutur-kan dalam buku ini. Bahkan terbukti -dengan izin Allah- ruqyah dapat menyembuhkan penyakit-penyakit berat dan kronis yang tak dapat disembuhkan dengan pengobatan medis sekalipun.
Ibnul Qayyim pernah mengatakan: “Barang siapa yang tidak dapat disembuhkan oleh al-Qur-an, semoga Allah tidak menyembuhkan-nya.” Namun demikian untuk sampai kepada pengobatan yang efektif dan hasil yang optimal, diperlukan syarat-syarat dan tata cara ruqyah yang benar.
Berikut materi kajian seputar ruqyah syar’iyyah :
![]() |
|||
Makalah Rukyah : Download di sini. | |||
Ustadz Abu Zubair Lc : |
Kajian 1: | {audio}http://suaraquran.com/download/ruqyah_ustabuzubair1.mp3{/audio} | Download |
Kajian 2: | {audio}http://suaraquran.com/download/ruqyah_ustabuzubair2.mp3{/audio} | Download | |
Kajian 3: | {audio}http://suaraquran.com/download/ruqyah_ustabuzubair3.mp3{/audio} | Download | |
Kajian 4: | {audio}http://suaraquran.com/download/ruqyah_ustabuzubair4.mp3{/audio} | Download | |
Kajian 5: | {audio}http://suaraquran.com/download/ruqyah_ustabuzubair5.mp3{/audio} |
Download | |
Ustadz Heri Purnomo Lc : |
Kajian 1: | {audio}http://suaraquran.com/download/ruqyah_ustaheri1.mp3{/audio} |
Download |
Kajian 2: | {audio}http://suaraquran.com/download/ruqyah_ustaheri2.mp3{/audio} |
Download | |
Kajian 3: | {audio}http://suaraquran.com/download/ruqyah_ustaheri3.mp3{/audio} |
Download | |
Ustadz Wasithoh Lc : |
{audio}http://suaraquran.com/download/ruqyah_ustwasihoh.mp3{/audio} |
Download |
Sumber: Radio Suara Quran 94,4 FM
Tafsir Al-Fatihah
Ustadz Luqman Ba'abduh | 7 Kajian | RAR File | 184 MB
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).