Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Islam

بسم الله الرحمن الرحيم

📚 ┃Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan
🎙┃ Ustadz Dr. Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc Hafidzahullah
- Pembina Ponpes Darush Shalihin
🗓┃Sabtu, 16 Agustus 2025 / 22 Shafar 1446 H
🕰┃ Kajian Dhuha
🕌┃ Masjid Jami' Hubbul Khoir Sukoharjo




Nikmat kemerdekaan adalah karunia besar dari Allah yang tidak boleh disia-siakan. Di tengah bangsa yang merdeka, kita bisa beribadah dengan leluasa, menuntut ilmu dengan tenang, dan membangun masa depan dengan penuh harapan. Namun, nikmat ini bisa menjadi azab jika tidak disyukuri. Berikut ini beberapa langkah nyata untuk mensyukuri nikmat kemerdekaan menurut pandangan Islam:

1. Mensyukuri dengan Menegakkan Tauhid dan Ibadah

Kemerdekaan sejati adalah ketika hati terlepas dari penghambaan kepada selain Allah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” - (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Tujuan utama hidup manusia adalah beribadah kepada Allah. Maka, kemerdekaan hakiki bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi bebas dari perbudakan hawa nafsu, dunia, dan sesembahan selain Allah.

Bentuk syukur tertinggi atas kemerdekaan adalah menggunakan kebebasan ini untuk beribadah kepada Allah. Jangan sampai kita lalai dan justru menggunakan kemerdekaan untuk bermaksiat. Karena kemerdekaan sejatinya bukan hanya bebas dari penjajahan lahiriah, tetapi juga kesempatan untuk menunaikan ketaatan dengan lebih leluasa.

Maka, nikmat ini semestinya mendorong kita untuk menjadi pribadi yang taat dan penuh rasa syukur, sebagaimana diilustrasikan dalam doa seorang mukmin yang telah mencapai usia kematangan:

حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُۥ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِىٓ أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ ٱلَّتِىٓ أَنْعَمْتَ عَلَىَّ وَعَلَىٰ وَلِدَىَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَـٰلِحًۭا تَرْضَىٰهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِىٓ ۖ إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ

“Sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun, ia berdoa: ‘Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.’” (QS. Al-Ahqaf: 15)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa syukur yang sejati bukan sekadar ungkapan lisan, melainkan dorongan kuat untuk beramal saleh yang diridhai Allah. Inilah bentuk syukur yang hidup—syukur yang menuntun pada ketaatan, dan bukan syukur yang berhenti pada retorika atau seremoni tahunan.

Menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, rukun syukur itu ada tiga: mengakui nikmat itu datang dari Allah, memuji Allah atas nikmat tersebut, dan menggunakan nikmat itu untuk ketaatan kepada Allah. Jadi, syukur bukan hanya sekadar pengakuan lisan, tetapi juga melibatkan hati dan perbuatan.

Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Katsir berkata, sebagai penduduk Hijaz berkata, Abu Hazim mengatakan,

كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، فَهِيَ بَلِيَّةٌ.

“Setiap nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah musibah.” [Jaami’ul Ulum wal Hikam, 2: 82 dan ‘Iddatush Shobirin, hal. 159]

Selanjutnya, Ibnul Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah menjelaskan tahapan seseorang menjauh dari Allah ﷻ:

وَٱلْبُعْدُ مِنَ ٱللَّهِ مَرَاتِبُ، بَعْضُهَا أَشَدُّ مِنْ بَعْضٍ، فَٱلْغَفْلَةُ تُبْعِدُ ٱلْقَلْبَ عَنِ ٱللَّهِ، وَبُعْدُ ٱلْمَعْصِيَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْغَفْلَةِ، وَبُعْدُ ٱلْبِدْعَةِ أَعْظَمُ مِنْ بُعْدِ ٱلْمَعْصِيَةِ، وَبُعْدُ ٱلنِّفَاقِ وَٱلشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ ذَٰلِكَ كُلِّهِ.

Namun jarak dari Allah itu memiliki tingkatan, sebagian lebih parah daripada lainnya:

  • Kelalaian (ghaflah) akan menjauhkan hati dari Allah.
  • Maksiat membuat jarak lebih jauh daripada kelalaian.
  • Bid’ah lebih jauh lagi daripada maksiat.
  • Dan jarak yang paling jauh dari semuanya adalah kemunafikan dan kesyirikan.

Menariknya, semangat yang sama juga diajarkan langsung oleh Rasulullah ﷺ kepada sahabat tercinta beliau, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu. Dalam sebuah hadits yang sangat menyentuh, Nabi ﷺ bersabda:

يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ

“Wahai Mu’adz, demi Allah, sesungguhnya aku mencintaimu, sungguh aku mencintaimu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya bersabda, “Aku memberikanmu nasihat, wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan saat di penghujung shalat bacaan doa:

اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

ALLOOHUMMA A’INNII ‘ALAA DZIKRIKA WA SYUKRIKA WA HUSNI ‘IBAADATIK (Ya Allah, tolonglah aku dalam berdzikir, bersyukur, dan beribadah yang baik kepada-Mu).”

Disebutkan di akhir hadits, “Mu’adz mewasiatkan seperti itu kepada Ash-Shunabihi. Lalu Ash-Shunabihi mewasiatkannya lagi kepada Abu ‘Abdirrahman.” (HR. Abu Daud, no. 1522; An-Nasa’i, no. 1304. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

2. Bertaubat dan Meninggalkan Maksiat

Nikmat tak akan bertahan jika maksiat dibiarkan.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وَمِنْ عُقُوبَاتِ الذُّنُوبِ: أَنَّهَا تُزِيلُ النِّعَمَ، وَتُحِلُّ النِّقَمَ،

“Salah satu hukuman dari dosa adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana.”

Taubat adalah tanda kesadaran bahwa kita masih sering menyia-nyiakan nikmat Allah. Kemerdekaan harus menjadi momentum untuk membersihkan diri dan masyarakat dari dosa yang tersembunyi maupun terang-terangan.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim: 8)

Ulama besar seperti Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa taubat yang tulus itu mengandung empat unsur penting:

  1. Berhenti dari dosa seketika itu juga — tidak menundanya lagi.
  2. Menyesali dosa yang telah dilakukan, dengan penyesalan yang lahir dari kesadaran akan kesalahan.
  3. Berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengulanginya di masa depan.
  4. Dan jika dosa itu menyangkut hak orang lain, maka wajib diselesaikan atau dikembalikan haknya.

Pada poin 4 dijelaskan sebagai berikut:

  • Jika terkait harta, harus minta maaf atau mengembalikannya.
  • Jika terkait kehormatan, maka harus minta maaf dan membersihkan dampaknya.
  • Jika memfitnah atau ghibah, maka harus minta maaf atau mendo'akannya jika membuat hubungannya menjadi rusak.

Dalam sebuah hadits dari Abu Musa radhiyallāhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ النَّهَارِ، وَيَبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوبَ مُسِيءُ اللَّيْلِ، حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla membentangkan tangan-Nya di waktu malam agar orang yang berbuat dosa di siang hari bertaubat, dan membentangkan tangan-Nya di waktu siang agar orang yang berbuat dosa di malam hari bertaubat, hingga matahari terbit dari barat.” (HR. Muslim, no. 2759)

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَا لَمْ يُغَرْغِرْ

“Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya belum sampai di tenggorokan.” (HR. Tirmidzi, no. 3537)

3. Menjadi Muslim yang Menjalankan Syariat Islam dengan Benar

Kemerdekaan memberi ruang bagi kita untuk hidup sesuai tuntunan agama. Di negeri ini, kita bebas untuk menegakkan salat, menutup aurat, mendidik anak dengan nilai Islam, dan berdakwah tanpa harus bersembunyi. Maka, tidak ada alasan untuk tidak menjalani hidup sebagai Muslim yang taat.

Namun kita juga tak menutup mata. Di tengah zaman yang penuh ujian iman, menjalani hidup sesuai syariat tidak selalu mudah. Godaan dunia, tekanan sosial, bahkan cibiran terhadap ajaran Islam bisa datang dari berbagai arah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi isyarat tentang kondisi ini dalam sabdanya:

يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ

“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” - (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Bayangkan menggenggam bara api—perih, panas, dan menyakitkan. Tapi ia tetap menggenggam, karena ia tahu itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya.

Ustadz mencontohkan sunnah sutrah pada shalat, yang zaman ini sudah mulai ditinggalkan para pengikut Madzhab Syafi'i.

Di tengah zaman seperti inilah, umat Islam dituntut untuk tetap berpegang teguh pada petunjuk yang tak akan pernah menyesatkan, sebagaimana wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ

“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” - (HR. Malik; Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam At-Ta’zhim wa Al-Minnah fi Al-Intishar As-Sunnah, hlm. 12-13).

4. Taat kepada Pemimpin dalam Perkara yang Makruf

Taat kepada pemimpin adalah bagian dari menjaga stabilitas negeri.

Dalam Islam, ketaatan kepada pemimpin—selama tidak memerintahkan maksiat—adalah bagian dari menjaga keamanan dan kemaslahatan umat.

Murid dari Imam Syafii, yaitu Imam Al-Muzani rahimahullah dalam kitab beliau “Syarhus Sunnah” berkata,

وَالطَّاعَةُ لِأُوْلِي الأَمْرِ فِيْمَا كَانَ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مَرْضِيًّا وَاجْتِنَابِ مَا كَانَ عِنْدَ اللهِ مُسْخِطًا

وَتَرْكُ الخُرُوْجِ عِنْدَ تَعَدِّيْهِمْ وَجَوْرِهِمْ وَالتَّوْبَةُ عِنْدَ اللهِ كَيْمَا يَعْطِفُ بِهِمْ عَلَى رَعِيَّتِهِمْ

“Taatlah kepada para pemimpin dalam hal-hal yang diridai oleh Allah ‘azza wa jalla, dan tinggalkan ketaatan jika mereka memerintahkan sesuatu yang dimurkai oleh Allah.

Jika para pemimpin berlaku zalim atau melampaui batas, janganlah memberontak. Sebaliknya, bertaubatlah kepada Allah dan perbaiki diri, agar Allah melembutkan hati para pemimpin dan menjadikan mereka lebih sayang kepada rakyatnya.”

Dari Abu Umamah Shuday bin ‘Ajlan Al Bahili radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah saat haji wada’ dan mengucapkan,

اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ

“Bertakwalah pada Allah Rabb kalian, laksanakanlah shalat limat waktu, berpuasalah di bulan Ramadhan, tunaikanlah zakat dari harta kalian, taatilah penguasa yang mengatur urusan kalian, maka kalian akan memasuki surga Rabb kalian.” - (HR. Tirmidzi no. 616 dan Ahmad 5: 262. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu ‘anhu—sahabat mulia sekaligus khalifah keempat—pernah menyampaikan sebuah perkataan yang sangat dalam tentang pentingnya kehadiran seorang pemimpin dalam kehidupan masyarakat. Beliau berkata:

لَا يَصْلُحُ لِلنَّاسِ إِلَّا أَمِيرٌ عَادِلٌ أَوْ جَائِرٌ

“Masyarakat tidak akan menjadi baik kecuali dengan adanya pemimpin—baik pemimpin yang adil maupun yang zalim.”

Sebagian orang saat itu merasa keberatan dengan pernyataan beliau tentang “pemimpin yang zalim”. Namun Ali menjelaskan maksudnya:

نَعَمْ، يُؤْمِنُ السَّبِيلَ، وَيُمَكِّنُ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَوَاتِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ

“Benar. Karena bahkan dengan adanya pemimpin yang zalim, jalan-jalan bisa aman, masyarakat tetap bisa melaksanakan salat, dan pergi haji ke Baitullah dengan tenang.”

Perkataan ini diriwayatkan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya Mafātīḥ al-Ghayb (13:204), dan menjadi pelajaran besar bahwa keberadaan pemimpin, bagaimana pun keadaannya, jauh lebih baik daripada hidup tanpa pemerintahan yang sah. Sebab, kekacauan dan kerusuhan justru akan lebih merusak tatanan masyarakat.

Pesan ini menyadarkan kita bahwa keadilan tidak hanya dituntut dari atas (pemimpin), tetapi juga harus dimulai dari bawah—dari masyarakat. Ketika rakyat meninggalkan kezaliman, Allah akan memperbaiki keadaan penguasanya. Tapi jika rakyat terus dalam maksiat dan kezaliman, jangan heran jika Allah memberi pemimpin yang menjadi cerminan mereka sendiri.

5. Mendoakan Pemimpin agar Diberi Hidayah dan Keadilan

Doa adalah senjata orang beriman. Jangan biarkan pemimpin berjalan sendiri tanpa kita iringi dengan doa agar mereka mampu memimpin dengan amanah.

Dari ‘Abdush Shomad bin Yazid Al Baghdadiy, ia berkata bahwa ia pernah mendengar Fudhail bin ‘Iyadh berkata,

لَوْ أَنَّ لِي دَعْوَةً مُسْتَجَابَةً مَا صَيَّرْتُهَا إِلَّا فِي الْإِمَامِ

“Seandainya aku memiliki doa yang mustajab, aku akan tujukan doa tersebut pada pemimpinku.”

Ada yang bertanya pada Fudhail, “Kenapa bisa begitu?” Ia menjawab, “Jika aku tujukan doa tersebut pada diriku saja, maka itu hanya bermanfaat untukku. Namun jika aku tujukan untuk pemimpinku, maka rakyat dan negara akan menjadi baik.” - (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim Al Ashfahaniy, 8: 77, Darul Ihya’ At Turots Al ‘Iroqiy).

Ustadz mencontohkan masalah ketaatan kepada pemimpin, prinsip yang masih sering dilanggar adalah menikah resmi dengan memenuhi surat menyurat di KUA, agar kasus-kasus yang terjadi

6. Mendoakan Negeri-Negeri yang Belum Merdeka

Mensyukuri kemerdekaan bukan hanya dengan berpesta atau mengikuti upacara, tapi dengan menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap mereka yang belum merasakan nikmat yang sama. Karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidaklah salah seorang dari kalian benar-benar beriman, sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” - (HR. Bukhari, no. 13 dan Muslim, no. 45).

Membela Palestina adalah bentuk nyata dari ukhuwah Islamiyah, karena mereka adalah saudara seiman yang sedang tertindas. Di sana juga terdapat Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama dan salah satu dari tiga masjid suci yang dimuliakan dalam Islam. Membantu mereka berarti menjaga kehormatan simbol-simbol agama dan tanah suci umat Islam. Islam memerintahkan kita untuk membela kaum yang lemah dan terzalimi. Maka, membela Palestina adalah bagian dari iman, syukur atas kemerdekaan, dan tanggung jawab bersama umat Islam. Ya Allah, tolonglah saudara-saudara kami di Palestina, jadilah penolong dan pelindung mereka.

7. Mengisi Kemerdekaan dengan Ilmu dan Karya

Syukur itu bukan hanya diam, tapi bergerak dan memberi manfaat.

Kemerdekaan bukan hanya soal bebas bicara, tapi juga bebas berkarya. Jadikan setiap potensi yang Allah berikan sebagai kontribusi nyata untuk bangsa dan umat.

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” - (HR. Ibn Hibban dalam al-Majruhin [2/1], al-Qudha‘i dalam Musnad al-Shihab no. 1234, dan al-Ṭabarani dalam al-Mu‘jam al-Awsaṭ no. 5787).

8. Menjaga Persatuan dan Tidak Memecah Belah Bangsa

Setan senang melihat umat Islam terpecah.

Salah satu nikmat besar pascakemerdekaan adalah persatuan. Jangan hancurkan dengan fanatisme golongan, politik, atau kepentingan pribadi.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai” - (QS. Ali Imran: 103)

Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallāhu ‘anhu, Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَي اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Karena siapa yang hidup sepeninggalku nanti, ia akan melihat banyak sekali perpecahan. Maka tetaplah berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah sepeninggalku yang mendapat petunjuk. Gigitlah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham kalian.” - (HR. Abu Daud no. 4607, Tirmidzi no. 2676; dinyatakan hasan sahih oleh Imam Tirmidzi, dan sanadnya sahih menurut Al-Hafizh Abu Thahir).

Sebab, nikmat kemerdekaan bisa hilang jika umat terpecah oleh fanatisme golongan, kebencian, atau bid’ah yang mengaburkan jalan kebenaran. Maka, menjaga ukhuwah dan arah perjuangan umat adalah bagian penting dari rasa syukur yang sejati.

9. Menjaga Akhlak dan Nilai-Nilai Moral dalam Kehidupan Bermasyarakat

Membangun masyarakat yang beradab bukan cukup dengan merdeka secara politik, tetapi harus ditopang oleh akhlak yang kokoh. Karena hanya dengan akhlak, kemerdekaan akan membawa berkah—bukan kehancuran.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad no. 8729, dinilai sahih oleh Al-Albani)

10. Mengisi Hari Kemerdekaan dengan Aktivitas Bermanfaat

Jangan habiskan peringatan kemerdekaan hanya dengan lomba tanpa makna, apalagi lomba yang mengandung unsur perjudian.

Allah Ta’ala mengingatkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (maysir), (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90)

Dalam Islam, suatu aktivitas disebut judi (maysir) jika memenuhi empat syarat:

  1. Adanya dua pihak atau lebih yang saling bertaruh;
  2. Masing-masing mempertaruhkan harta atau barang bernilai;
  3. Terdapat pihak yang menang dan kalah di akhir permainan;
  4. Serta pihak yang kalah harus rela kehilangan hartanya tanpa ada timbal balik yang setara.

Maka, jika perlombaan dalam rangka hari kemerdekaan melibatkan taruhan uang atau barang berharga dengan hasil menang-kalah yang menyebabkan salah satu pihak kehilangan miliknya, hal itu termasuk bentuk perjudian yang diharamkan. Sebaliknya, isi kemerdekaan dengan kegiatan yang menguatkan nilai kebersamaan, menambah ilmu, atau amal sosial yang bermanfaat bagi masyarakat.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم