بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Madrasah Ramadhan - Tarbiyah Sunnah
🎙️ Bersama Ustadz Abu Haidar As-Sundawy 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
📌 Masjid Umar bin Khathab Ma'had Tarbiyah Sunnah Bandung Barat
🗓️ Bandung, 22 Ramadhan 1446 / 22 Maret 2025
Kitab Miftah Daris Sa'adah: Poin ke-57 sampai 62
Karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah
Poin #57: Hikmah (Ilmu) bagi Orang Mukmin
Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Ibrahim bin al-Fadhl, dari al-Maqburi, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menyebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda,
اﻟﻜﻠﻤﺔ اﻟﺤﻜﻤﺔ ﺿﺎﻟﺔ اﻟﻤﺆﻣﻦ، ﻓﺤﻴﺚ ﻭﺟﺪﻫﺎ ﻓﻬﻮ ﺃﺣﻖ ﺑﻬﺎ
"Hikmah (ilmu) merupakan milik orang mukmin yang hilang, maka di mana saja dia menemukannya dialah orang yang paling berhak terhadapnya." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hikmah adalah ilmu. Apabila seorang mukmin kehilangan ilmu, maka ia seperti orang yang kehilangan salah satu barangnya yang sangat berharga. Dan jika ia menemukannya, maka hatinya tenang dan jiwanya pun gembira.
Demikianlah keadaan seorang mukmin, jika ia menemukan sesuatu yang diidamkan hati dan ruhnya yang hilang serta selalu ia cari dan ia impikan. Ini merupakan salah satu contoh terbaik dalam hal ini. Sesungguhnya hati orang mukmin selalu mencari ilmu. Di mana saja dia mendapatkannya dia adalah pencari sesuatu milik yang paling mulia.
Poin#58: Berakahlak mulia dan Menuntut ilmu Menghilangkan Sifat Munafik
Imam Tirmidzi berkata bahwa Abu Kuraib mendengar dari Khalaf bin Ayyub, dari Auf, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Nabi bersabda,
خَصْلَتَانِ لاَ تَجْتَمِعَانِ فِي مُنَافِقٍ حُسْنُ سَمْتٍ وَلاَ فِقْهٌ فِي الدِّيْنِ
“Ada dua sifat yang tidak mungkin terkumpul pada diri seorang munafik: (1) akhlak yang bagus, (2) fakih dalam agama.” (HR Tirmidzi no. 2684)
Hadits ini merupakan kesaksian bahwa orang yang menghimpun jalan baik dan pemahaman agama, dialah orang mukmin. Walaupun dalam sanad hadits ini terdapat kesamaran, tetapi hadits ini lebih tepat sebagai hadits yang benar. Hal ini dikarenakan sifat yang baik dan pemahaman terhadap agama merupakan salah satu tanda-tanda orang mukmin yang sangat khusus, yang tidak akan Allah kumpulkan dalam diri seorang munafik. Dan, kemunafikan menafikan keduanya; demikian juga dengan keduanya yang menafikan kemunafikan.
Hadits ke-59: Menghidupkan Sunnah-sunnah Nabi ﷺ adalah Tanda seseorang Mencintainya
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Muslim bin Hatim al-Anshari, dari ayahnya, dari Ali bin Zaid, dari Sa'id bin al-Musayyab, dari Anas bin Malik Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah bersabda,
يَا بُنَيَّ إِنْ قَدَرْتَ أَنْ تُصْبِحَ وَتُمْسِيَ لَيْسَ فِي قَلْبِكَ غِشٌّ لِأَحَدٍ فَافْعَلْ ثُمَّ قَالَ لِي يَا بُنَيَّ وَذَلِكَ مِنْ سُنَّتِي وَمَنْ أَحْيَا سُنَّتِي فَقَدْ أَحَبَّنِي وَمَنْ أَحَبَّنِي كَانَ مَعِي فِي الْجَنَّةِ
"Wahai anakku, jika kamu mampu memasuki waktu pagi dan sore serta hatimu tidak mengandung rasa benci kepada seorang pun, maka lakukanlah! Wahai anakku, itu adalah sunnahku. Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku, maka dia mencintaiku. Dan barangsiapa mencintaiku, maka dia bersamaku di surga." (HR Tirmidzi no. 2678 ; Dhaif)
Dalam hadits ini ada kisah yang panjang. Imam Tirmidzi berkata, "Ini adalah hadits hasan gharib dari jalur ini. Muhammad bin al-Anshari adalah orang jujur dan ayahnya dapat dipercaya. Ali bin Zaid adalah orang yang jujur, hanya saja terkadang ia menyandarkan kepada Rasulullah ﷺ riwayat yang juga diriwayatkan orang lain. Saya mendengar Muhammad bin Basyar berkata bahwa Abu al-Walid berkata, 'Syu'bah bin Hajjaj berkata bahwa dia diberitahu oleh Ali bin Zaid dan Ali bin Zaid adalah orang yang suka menyandarkan riwayat kepada Rasulullah ﷺ.'"
Saya berpendapat bahwa hadits ini memiliki beberapa hadits pendukung. Di antaranya hadits yang diriwayatkan ad-Darimi Abdullah dari Muhammad bin Uyainah dari Marwan bin Mu'awiyah al-Fazari, dari Katsir bin Abdullah, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa Nabi ﷺ berkata kepada Bilal bin al-Harits, "Ketahuilah, wahai Bilal!" Maka Bilal berkata, "Apa yang harus aku ketahui ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا ، وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لَا يَرْضَاهَا اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا
"Barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah dimatikan sesudahku, maka dia memiliki pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat bid'ah sesat yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang menga-malkannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits ini diriwayatkan Imam Tirmidzi dan ia berkata bahwa ini adalah hadits hasan. Dia juga berkata bahwa Muhammad bin Uyainah adalah orang Syam dan Katsir bin Abdullah adalah anak Amru bin Auf al-Muzani. Di kalangan ahli hadits ada tiga pendapat mengenai riwayat Katsir bin Abdullah; ada yang menshahihkannya dan ada pula yang menghasankannya, keduanya terdapat dalam Sunan Tirmidzi. Ada juga yang menganggapnya lemah dan tidak menjadi hujjah, seperti Imam Ahmad dan Iain-lain. Akan tetapi, asal hadits ini adalah kuat dari berbagai jalur seperti hadits,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ
"Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya." (HR Muslim)
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
"Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebajikan, maka baginya pahala seperti pahala orang melakukannya." (HR Muslim dan Tirmidzi)
Ini adalah hadits hasan yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dan selainnya. Asal hadits ini adalah mahfuudz dari Nabi ﷺ. Jadi hadits yang lemah jika menjadi pendukung tidaklah berdampak negatif.
Catatan:
- Hadits dalam poin ini adalah dha'if, tetapi diperkuat dengan hadits Shahih lainya, maka boleh diamalkan.
- Hadits dha'if boleh diamalkan bagi suatu amalan yang sudah disyariatkan. Maka, jika suatu amalan yang tidak disyari’atkan dan didukung hadits dha'if, maka tidak boleh diamalkan!
Hadits ke-60: Perintah Berbuat baik kepada orang yang Berilmu.
Sesungguhnya Nabi ﷺ memuji para penuntut ilmu. Hal ini tidak lain karena keutamaan dan kemuliaan apa yang mereka cari.
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Sufyan bin Waqi', dari Abu Daud al-Hafri, dari Sufyan, dari Abi Harun bahwa dia pernah mendatangi Abu Sa'id, lalu Abu Sa'id berkata, "Selamat datang kepada orang-orang yang dipuji Rasulullah ﷺ, sesungguhnya beliau pernah bersabda,
إِنَّ النَّاسَ لَكُمْ تَبَعٌ وَإِنَّ رِجَالاً يَأْتُوْنَكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الأَرْضِ يَتَفَقَّهُوْنَ فِي الدِّيْنِ فَإِذَا أَتَوْكُمْ فَاسْتَوْصُوْا بِهِمْ خَيْرًا
"Sesungguhnya orang-orang mengikuti kalian dan sesungguhnya orang-orang mendatangi kalian dari segala penjuru bumi ingin memahami agama. Apabila mereka mendatangi kamu, maka pujilah mereka." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Qutaibah, dari Ruh bin Qais, dari Abu Harun al-Abdi, dari Abi Sa'id al-Khudri bahwa Nabi ﷺ bersabda,"Akan datang kepada kalian orang-orang dari Timur untuk belajar. Apabila mereka mendatangi kalian, maka pujilah mereka."
Ketika Abu Sa'id al-Khudri melihat kami datang kepadanya, ia berkata, "Selamat datang wahai orang-orang yang dipuji Rasulullah ﷺ."
Poin #61: Menuntut Ilmu Mendapatkan Pengampunan Dosa.
Sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi dari Abu Daud, dari Abdullah bin Sanhabirah, dari Sanhabirah, bahwa Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ طَلَبَ العِلْمَ كَانَ كَفَّرَاةً لِمَا مَضَى
"Menuntut ilmu adalah kafarah (penghapus) bagi dosa-dosa yang telah lalu orang yang melakukannya." (HR Tirmidzi)
Asal tentang hal ini tidak saya dapatkan kecuali dari hadits ini. Hadits ini tidak dapat dijadikan hujjah karena Abu Daud adalah Nafi al-A'ma dan dia tidak terpercaya. Akan tetapi, sebelumnya telah disebutkan hadits yang menerangkan bahwa apa yang ada di langit dan di bumi akan memintakan ampunan bagi orang yang berilmu.
Juga telah diriwayatkan dari beberapa sahabat tentang hal ini. Di antaranya adalah yang diriwayatkan Abu Sufyan ats-Tsauri, dari Abdulkarim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata, "Sesungguhnya seorang malaikat ditugaskan menjaga orang yang menuntut ilmu, hingga ia kembali dan dosanya telah diampuni."
Di antaranya juga adalah sebuah yang diriwayatkan dari Qathr bin Khalifah, dari Abu Thufail, dari Ali Radhiyallahu’anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda, "Seorang hamba yang memakai sandal, khaff dan memakai pakaian untuk pergi mencari ilmu, maka diampuni dosa-dosanya sejak dia melangkah dari pintu rumahnya." Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi dan disandarkan kepada Rasulullah ﷺ.
Ibnu Adi berkata, "Tidak ada yang meriwayatkannya dari Qathr selain Ismail bin Yahya at-Tamimi." Saya katakan bahwa Ismail bin Yahya telah meriwayatkannya dari Sufyan ats-Tsauri, dari Muhammad bin Ayyub al-Jurjani, dari Mujalid dari asy-Sya'bi, dari al-Aswad, dari Aisyah Radhiyallahu’anha bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang memakai sandal untuk mempelajari kebajikan, maka dia diampuni sebelum melangkah pergi."
Hadits ini juga telah diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Muhammad al-Muharibi dari Qathr bin Abi ath-Thufail, dari Ali Radhiyallahu’anhu.
Catatan: Hasan lighairihi adalah hadits yang dilihat dari sanadnya dha'if namun dikuatkan dari jalur lainnya, tetap tidak mengandung syadz dan 'illah.
Walaupun sanad-sanad di atas tidak dapat menjadi hujjah (dasar hukum) secara sendirinya, tetapi menuntut ilmu adalah kebaikan yang paling utama, dan kebaikan menghapuskan dosa-dosa perbuatan buruk. Maka, sangat layak jika menuntut ilmu untuk mencari ridha Allah ﷻ itu menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.
Dalam sebuah hadits juga telah disebutkan bahwa melakukan kebajikan setelah melakukan keburukan dapat menghapuskan keburukan tersebut. Maka, tentunya melakukan kebaikan yang paling utama dan ketaatan paling tinggi lebih dapat menghapuskan keburukan tersebut. Maka inilah yang kita pegang, bukan hadits Abu Daud. Wallaahu wa a'lam.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khathab Radhiyallahu’anhu bahwa ia berkata, "Seorang lelaki yang menipunyai dosa sebesar gunung Tihamah keluar dari rumahnya. Ketika dia mendengarkan ilmu dia merasa takut dan mengingat dosa-dosanya lalu bertaobat. Kemudian dia pulang ke rumahnya tanpa dosa lagi. Oleh karena itu, janganlah kalian memisahkan diri dari majelis ulama!"
Catatan: Shigat tamridh : bentuk lafazh yang berarti ada penyakitnya. Ada cacat sehingga hadits tersebut tidak bisa dijadikan sandaran. Biasanya diawali dengan Diriwayatkan dari...
Poin #62: Majelis ilmu lebih utama daripada majelis do'a.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya. dari Abdullah bin Amru bin al-Ash Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah ﷺ masuk ke masjid dan mendapati ada dua majelis dalam masjid. Satu majelis mempelajari agama tapi yang lain berdoa dan memohon kepada Allah ﷻ.
Rasulullah bersabda,
كِلاَ المَجْلِسَيْنِ إِلَى خَيْرٍ أَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَدْعُوْا اللهَ وَأَمَّا هَؤُلاَءِ فَيَتَعَلَّمُوْنَ وَيُفَقِّهُوْنَ الجَاهِلَ هَؤُلاَء ُأَفْضَلُ بِالتَّعْلِيْمِ أُرْسِلْت
"Masing-masing dari kedua majelis itu adalah baik. Majelis ini berdoa kepada Allah dan majelis yang itu belajar dan mengajar orang bodoh. Maka, majelis yang kedua ini adalah lebih baik karena mengajar dan untuk itulah aku diutus."
Lalu Rasulullah ﷺ duduk bersama dengan kelompok yang sedang belajar.
(HR. Ibnu Majah, no. 22. Hadits ini dhaif). Lihat Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:287.
Dalam hadits di atas walaupun haditsnya dhaif, bisa dipetik pelajaran bahwa majelis yang isinya mempelajari ilmu lebih utama daripada majelis amal. Karena di antara tujuan belajar adalah mengajarkan ilmu kepada yang lain.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم