بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Madrasah Ramadhan - Tarbiyah Sunnah
🎙️ Bersama Ustadz Abu Haidar As-Sundawy 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
📌 Masjid Umar bin Khathab Ma'had Tarbiyah Sunnah Bandung Barat
🗓️ Bandung, 26 Ramadhan 1446 / 26 Maret 2025
Kitab Miftah Daris Sa'adah: Poin ke-79 - 81
Karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah
Poin#79: Ilmu adalah jalan terdekat untuk mendapatkan puncak kesenangan.
Sesungguhnya frekwensi kebahagiaan bersama yang dicintai tergantung pada kekuatan dan kelemahan cinta itu sendiri. Apabila kecintaan itu besar, maka kebahagiaan pun terasa besar pula. Sebagaimana kebahagiaan seseorang yang dilanda dahaga tatkala meminum air dingin dan tergantung rasa letihnya dalam mencari air itu, demikian pula dengan orang yang lapar. Jadi perasaan cinta itu sesuai dengan pengetahuannya tentang yang dicintai dengan segala keindahan lahir-batinnya.
Kebahagiaan memandang Allah ﷻ setelah bertemu dengan-Nya adalah sesuai dengan kekuatan cinta dan keinginannya untuk berjumpa dengan-Nya. Hal ini sesuai dengan pengetahuannya terhadap Allah serta sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Mengenai penjelasan tentang masalah ini akan menyusul insya Allah.
Poin#80: Segala Sesuatu Selain Allah Sangat Butuh pada Ilmu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
ِأَنَّ كُلَّ مَا سِوَى اللهِ مُفْتَقِرٌ إِلَى العِلْمِ لاَ قَوَامَ لَهُ بِدِيْنِه
Segala sesuatu selain Allah ﷻ butuh kepada ilmu dan mereka tidak bisa hidup dengan baik tanpa adanya ilmu.
Wujud itu ada dua, yaitu wujud penciptaan dan wujud perintah. Penciptaan dan perintah sumbernya adalah ilmu dan hikmah Allah. Segala sesuatu yang terkandung dalam penciptaan dan perintah berasal dari ilmu dan hikmah-Nya. Langit, bumi dan apa yang ada di antara keduanya tidak akan berdiri tegak tanpa ilmu, yang halal dan haram tidak diketahui kecuali dengan ilmu, dan keutamaan Islam di atas yang lain tidak diketahui kecuali dengan ilmu.
Dalam hal ini orang-orang berbeda pendapat mengenai satu masalah, yaitu apakah pengetahuan itu bersifat aktif (‘ilmu fi’liy) atau reaktif?
Sebagian ulama mengatakan bahwa pengetahuan bersifat aktif sebab ia merupakan syarat, bagian, atau sebab adanya obyek. Karena, perbuatan yang timbul dari keinginan pelaku membutuhkan kehidupan, pengetahuan, kemampuan, dan keinginannya. Tidak bisa dibayangkan keberadaan sang pelaku tersebut tanpa sifat-sifat ini.
Sedangkan, sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa pengetahuan itu bersifat reaktif, sebab ia hanya mengikuti obyek yang diketahui dan berkaitan dengannya. Hal ini disebabkan pengetahuan seseorang mengenai suatu obyek adalah sesuai dengan obyek tersebut, dan pengetahuannya itu ada setelah adanya obyek. Jadi bagaimana pengetahuan dapat mendahului keberadaan obyeknya.
Adapun pendapat yang benar adalah bahwa ilmu itu terbagi dua.
- Pertama: pengetahuan (‘ilmu fi’liy) aktif yaitu pengetahuan seorang pelaku perbuatan, yang melakukannya berdasarkan kehendaknya. Pengetahuan ini tergantung kepada kehendak seseorang yang berangkat dari persepsinya terhadap obyek kehendaknya. Jadi pengetahuan ini ada sebelum perbuatan, ia mendahului dan memperangaruhi perbuatan itu.
- Sedangkan, pengetahuan yang reaktif adalah pengetahuan yang mengikuti obyek yang tidak mempunyai pengaruh terhadapnya, seperti pengetahuan kita tentang adanya para nabi, bangsa-bangsa, raja-raja, dan semua yang ada. Pengetahuan ini tidak mempunyai pengaruh terhadap obyeknya, tidak pula menjadi syarat bagi keberadaannya.
Jadi kesalahan para ulama yang berbeda pendapat mengenai sifat pengetahuan ini dikarenakan masing-masing pihak melihat secara parsial dan menetapkan hukum secara general, ini merupakan kesalahan yang banyak terjadi. Kedua bagian dari pengetahuan tersebut memiliki sifat kesempurnaan, dan kehilangan salah satu dari keduanya merupakan kerugian yang sangat besar.
Poin#81: Keutamaan ilmu itu diketahui dari mengetahui lawannya.
Ibnul Qayyim rahimahullah membawakan bait syair:
ِفَالضِدُّ يُظْهَرُ حُسْنُهُ الضِد
ِوَبِضِدِّهَا تَتَبَيَّنُ الأَشْيَاء
Keutamaan sesuatu itu akan diketahui dengan adanya lawan dari sesuatu tersebut. Karena melalui sesuatu yang berlawanan dengannya kebaikan sesuatu itu akan nampak.
Tidak diragukan bahwa kebodohan merupakan pangkal segala keburukan dan kemalangan yang menimpa seorang hamba di dunia dan akhirat, karena kemalangan tersebut adalah buah dari kebodohan. Seseorang yang benar-benar mengetahui bahwa suatu makanan itu beracun, yang apabila dimakan akan mengakibatkan kematiannya, maka ia tidak akan memakannya. Dan seandainya dia memakannya karena kelaparan atau ingin segera menjemput ajal, maka ia melakukannya berdasarkan pengetahuan dan itu sejalan dengan keinginannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah yang sangat penting. Yaitu apakah ilmu itu serta merta membuat seseorang mendapat petunjuk dan seseorang tidak mendapat petunjuk hanya karena ia tidak mempunyai ilmu. Karena tidak dapat dibayangkan seseorang akan tersesat jika ia benar-benar mengetahui kebenaran. Ataukah, ilmu itu tidak secara otomatis membawa seseorang untuk mendapat petunjuk. Karena tidak jarang seseorang yang berilmu, namun tersesat secara sengaja. Permasalahan ini menjadi perbedaan antara para mutakallimin, tokoh-tokoh sufi, dan lainnya.
Kelompok pertama berpendapat bahwa orang yang benar-benar mengetahui kebenaran dengan tanpa keraguan, maka mustahil dia tidak mendapatkan petunjuk. Apabila dia tersesat, berarti pengetahuannya yang masih kurang. Dalil mereka adalah berikut ini.
Firman Allah ﷻ, "Akan tetapi, orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orangorang mukmin, mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (AlQur'an) dan apa yang telah diturunkan sebelummu." (an-Nisa': 161)
Allah ﷻ memberikan kesaksian kepada setiap orang berilmu dalam iman dengan firmannya, "Sesungguhnya hamba Allah yang takut kepadanya hanya para ulama." (Fathir: 28)
"Dan orang-orang yang diberi ilmu berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itulah yang benar." (Saba': 6)
"Allah menyatakan tidak ada Tuhan selain Dia bersama dengan para malaikat dan orang-orang berilmu." (Ali 'Imran: 18)
"Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta?" (ar-Ra'd: 19)
Jadi Allah ﷻ membagi manusia ke dalam dua bagian.
- Pertama, orang-orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan Tuhannya adalah benar.
- Kedua, orangorang yang buta. Ini menujukkan bahwa tidak ada jarak di antara keduanya.
Allah ﷻ berfirman tentang orang-orang kafir, "Mereka tuli, bisu, dan buta, maka oleh sebab itu mereka tidak mengerti." (Al Baqarah : 17)
"Allah telah mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (at-Taubah: 93)
"Allah telah mengunci mati hati. Pendengaran dan penglihatan mereka ditutup." (al-Baqarah : 7)
Dalarn diri mereka ketiga sumber pengetahuan tersebut telah rusak. Allah ﷻ berfirman, "Maka, pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya, serta Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya lalu meletakkan tutupan atas penglihatannya? Siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah membiarkannya sesat? Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (al-Jaatsiyah: 23)
Firman Allah, "Dan Allah membiarkan mereka sesat berdasarkan ilmu ", artinya menurut Abu Sa'id bin Jabir, "Berdasarkan atas ilmu Allah ﷻ".
Menurut az-Zujaj, "Berdasarkan ilmu-Nya yang terdahulu yaitu sebelum mereka diciptakan bahwa mereka akan tersesat."
Firman-Nya, "Allah Menutup pendengarannya", artinya Allah menguncinya sehingga tidak dapat mendengar petunjuk.
Firman-Nya, "Dan (Allah mengunci mati) hatinya", artinya dia tidak bisa memahami petunjuk.
Firman-Nya, "Dan (Allah) meletakkan penutup atas penglihatannya," artinya dia tidak dapat melihat hal-hal yang mengatarkannya mendapatkan petunjuk.
Tentang hal ini banyak diterangkan dalam Al-Qur'an, yang semuanya menjelaskan pertentangan antara kesesatan dengan ilmu.
Dan firman-Nya, "Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan/Apakah yang dikatakan tadi? 'Mereka itulah orangorang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah." (Muhammad: 16)
Seandainya mereka mengerti apa yang diucapkan Rasulullah, pasti mereka tidak akan menanyakan kepada orang-orang yang berilmu apa yang beliau katakan dan hati mereka pun tidak akan dikunci.
Firman Allah, "Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu, dan berada dalam keadaan gelap gulita." (al-An'am : 39)
"Katakanlah, ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, maka mereka tersungkur di atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata/Maha Suci Tuhan kami. Sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi.'" (al-lsra' : 107-108)
Ini merupakan kesaksian Allah atas keimanan orang yang berilmu.
Dan Allah berfirman tentang penghuni neraka, "Dan mereka berkata, 'Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan peringatan itu niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala." (al-Mulk: 10)
Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang sesat tidak mempunyai pendengaran dan pikiran.
Allah berfirman, "Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu." (al-Ankabut : 43)
Dalam ayat di atas Allah ﷻ mengabarkan bahwa yang memahami perumpamaan-perumpamaan-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu. Orang-orang kafir tidak termasuk ke dalam orang-orang berilmu sebab itu mereka tidak memahaminya.
Allah ﷻ berfirman, "Tetapi orang-orang yang zalim mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan, maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah?" (ar-Rum: 29)
"Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata ,'Mengapa Allah tidak (langsung) berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?'" (al-Baqarah: 118)
"Katakanlah, 'Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'" (az-Zumar: 9)
Seandainya kesesatan bisa menyatu dengan ilmu, maka orang-orang yang tidak berilmu lebih baik keadaannya daripada orang-orang yang berilmu, Tetapi nash Al Qur'an bertentangan dengan hal ini. Di dalam Al-Qur'an banyak sekali keterangan tentang tidak adanya ilmu dan pengetahuan dalam diri orang-orang kafir.
Terkadang Al-Qur'an menyebut mereka sebagai orang yang tidak berilmu, orang yang tidak berakal, orang yang tidak memiliki perasaan, orang-orang yang tidak melihat, orang-orang yang tidak memahami, dan terkadang orang-orang yang tidak mendengar. Pendengaran yang dimaksud di sini adalah pendengaran dengan memahami, yaitu pendengaran hati bukan penangkapan suara.
Semuanya ini menunjukkan bahwa kekafiran adalah akibat dari kebodohan yang bertentangan dengan ilmu, yang keduanya tidak akan pernah menyatu. Karena itu, Allah ﷻ menjuluki orang-orang kafir sebagai orang-orang bodoh, seperti dalam firman-Nya,
"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati. Apabila orang-orang jahiI menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." (al-Furqaan: 61).
"Dan apabila mereka mendengarkan perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orangorang jahiI.'" (al-Qashash: 55)
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang mak'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (al-A'raf: 199)
Tatkala kaum Rasulullah ﷺ melakukan penganiayaan yang melampaui batas, beliau bersabda, "Ya Allah, ampunilah kaumku. Sesungguhnya mereka tidak mengetahui." (HR Bukhari)
Dalam Shahih Bukhari Muslim disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Barangsiapa yang dikendaki Allah memperoleh kebaikan, maka Dia akan memahamkan agama kepadanya." (HR Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan kehendak Allah untuk mengaruniakan kebaikan kepada hambaNya adalah karena ia memahami agama-Nya.
Hadits ini tidak bisa dipahami bahwa seseorang yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka dia diberikan pamahaman terhadap agama-Nya. Hadits ini juga tidak menunjukkan bahwa setiap orang yang diberikan pemahaman kepada agama-Nya, maka Allah menginginkan kebaikan baginya. Jadi antara keduanya terdapat perbedaan.
Akan tetapi, dalil-dalil mereka di atas hanya mendukung penafsiran kedua. Yaitu, bahwa setiap orang yang diberikan pemahaman kepada agama-Nya, maka Allah ﷻ menginginkan kebaikan baginya, sedangkan hadits ini tidak menginginkan hal itu. Itu sebabnya saya katakan bahwa Nabi menjadikan pemahaman terhadap agama sebagai bukti dan tanda bagi kehendak Allah atas seseorang untuk mendapatkan kebaikan. Bukti selalu mengharuskan adanya yang dibuktikan. Jadi sesuatu yang dibuktikan merupakan konsekuensi bukti tersebut.
Poin 81 bersambung InshaAllah...
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم