Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Madrasah Ramadhan - Tarbiyah Sunnah
🎙️ Bersama Ustadz Abu Haidar As-Sundawy 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
📌 Masjid Umar bin Khathab Ma'had Tarbiyah Sunnah Bandung Barat
🗓️ Bandung, 27 Ramadhan 1446 / 27 Maret 2025



Kitab Miftah Daris Sa'adah: Poin ke-81 
Karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah Rahimahullah

Poin#81: Keutamaan ilmu itu diketahui dari mengetahui lawannya. Bagian-2

Penjelasan Penafsiran ulama bahwa Orang yang dipahamkan agamanya semestinya dikehendaki kebaikan baginya...

Dalam Sunan Tirmidzi dan sunan-sunan lainnya disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Ada dua karakteristik yang tidak bertemu dalam diri seorang munafik, baiknya perilaku dan pemahaman dalam agama."

Rasulullah ﷺ menjadikan pemahaman agama bertentangan dengan kemunafikan. Bahkan, para ulama salaf tidak pernah memakai kata fiqh kecuali atas ilmu yang disertai dengan amal. Sa'ad bin Ibrahim pernah ditanya tentang penduduk Madinah yang paling memahami agama, lalu dia menjawab, "Yang paling bertakwa di antara mereka." (Tidak menyebut nama, dan yang paling takwa (paling mengamalkan ilmunya).

Farqad as-Sanji pernah bertanya kepada Hasan al-Bashri tentang sesuatu dan Hasan al-Bashri menjawabnya. Kemudian Farqad as-Sanji berkata, "Akan tetapi, para fuqaha tidak sependapat dengan Anda." Hasan al-Bashri menjawab, "Ya Furaiqad kasihan kamu!, apakah engkau pernah melihat seorang faqih dengan kedua matamu!

Sesungguhnya seorang faqih adalah "orang yang zuhud (tidak minat) terhadap dunia dan hanya menginginkan akhirat. la benar-benar memahami agama dan tekun beribadah kepada Tuhannya. la tidak iri dengan orang yang lebih tinggi derajatnya dan tidak menghina orang yang lebih rendah dari dia. la juga tidak menginginkan imbalan dari ilmu yang ia ajarkan."

Catatan:
- Orang yang berilmu diberi petujuk untuk beramal.
- Bashirah tingkat ilmu tertinggi, Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Yusuf Ayat 108:

قُلْ هَٰذِهِۦ سَبِيلِىٓ أَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِى ۖ وَسُبْحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".

Sebagian ulama salaf mengatakan,

"Seorang faqih adalah orang yang tidak membuat orang lain putus asa dari rahmat Allah, tidak membuat orang merasa aman dari cobaan-Nya, dan ia tidak meninggalkan Al-Qur'an karena tidak suka terhadapnya."

Ibnu Mas'ud Radhiyallahu’anhu berkata,

"Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai ilmu dan melupakan-Nya sebagai sebuah kebodohan."

Catatan: Kisah Rahib yang munafik:

Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa ada seorang wanita menjadi pengembala kambing dan ia memiliki empat orang saudara. Suatu saat ia tinggal di shawma’ah (pertapaan rahib atau rumah ibadah seorang biara). Waktu berlalu, akhirnya rahib tadi menghampiri wanita tersebut, hingga ia hamil. Setan pun menghampirinya. Setan berkata kepada rahib tersebut, “Sudahlah bunuhlah dia, lalu kuburkanlah. Engkau adalah orang yang dikenal jujur dan ucapanmu pasti didengar.” Lantas rahib tersebut membunuh wanita tadi, lalu ia menguburkannya.

Kemudian setan mendatangi rahib tadi lantas berkata, “Aku yang telah menjerumuskan engkau dalam kejahatan ini, tentu yang bisa menyelamatkanmu darinya hanyalah aku. Maka sekarang sujudlah padaku dengan sekali sujud, maka aku akan menyelamatkanmu dari masalah besarmu.” Kemudian rahib tadi sujud kepada setan. Ketika raja mereka datang, setan pun berlepas diri dari rahib tersebut. Rahib tersebut tetap dikenakan hukuman atas tindakan kejahatannya, ia pun dibunuh.

Demikian pula riwayat yang sama dari Ibnu ‘Abbas, Thawus, dan Muqatil bin Hayyan.

Mereka mengatakan bahwa dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah serta dalam ucapan para sahabat dan tabi'in menunjukkan bahwa ilmu dan pengetahuan (ma'rifah) mendatangkan hidayah. Sedangkan tidak adanya hidayah menunjukkan kebodohan dan tidak adanya ilmu.

Ini menunjukkan bahwa selama manusia menggunakan akalnya, maka dia tidak akan mungkin memilih kesengsaraan daripada kebahagiaan, tidak mungkin memilih azab yang abadi atas nikmat-Nya yang kekal, dan indera merupakan saksi atas hal itu.

Karena itulah, Allah ﷻ menyebut perbuatan dosa sebagai suatu kebodohan, yaitu dalam firman-Nya,

إِنَّمَا ٱلتَّوْبَةُ عَلَى ٱللَّهِ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ ٱلسُّوٓءَ بِجَهَٰلَةٍ ثُمَّ يَتُوبُونَ مِن قَرِيبٍ فَأُو۟لَٰٓئِكَ يَتُوبُ ٱللَّهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

"Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertaobat dengan segera. Maka, mereka itulah yang diterima Allah taobatnya dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa : 17)

Sufyan ats-Tsauri berkata, "Setiap orang yang melakukan dosa adalah orang yang tidak tahu, baik dia orang bodoh maupun berilmu. Apabila dia berilmu, maka ia  orang yang paling bodoh dari orang yang berilmu. Dan apabila dia bodoh, maka memang demikian adanya."  Firman Allah, "Kemudian mereka bertaobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah taobatnya dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa : 17) Sufyan berkata, "Itu adalah sebelum mati."

Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma berkata, "Dosa seorang mukmin adalah karena ketidaktahuan terhadap apa yang ia lakukan."

Qatadah berkata, "Semua sahabat Rasulullah sepakat bahwa setiap orang yang berbuat maksiat adalah karena ketidaktahuan."

As-Sadi berkata, "Setiap orang yang berdosa kepada Allah adalah orang yang tidak tahu."

  • Kelompok pertama ini mengatakan bahwa salah satu hal yang menunjukkan kebenaran pendapat mereka bahwa seorang hamba yang berilmu tidak akan berbuat dosa adalah jika seseorang melihat anak kecil yang memandangnya dari jendela sebuah rumah, maka ia tidak akan menggerakkan anggota badannya untuk melakukan perbuatan buruk.

Maka, tidak mungkin seseorang akan melakukan kemaksiatan jika pengetahuannya telah sempurna bahwa Allah menyaksikan, melihat, dan memberikan sanksi, serta telah mengharamkannya.

Apabila dengan pengetahuannya itu dia tetap melakukan kemaksiatan, maka itu disebabkan kelalaian, dan kelupaannya. Dengan demikian, kemaksiataannya itu bersumber dari kelalaian, kelupaan dan ketidaktahuan yang bertentangan dengan pengetahuan (ilmu).

Perbuatan dosa itu diliputi dua ketidaktahuan, yaitu:
- ketidaktahuan akan sebab-sebab yang dapat menghindarkannya dari dosa,
- dan ketidaktahuan tentang akibatnya.

Di bawah kedua ketidaktahuan itu terdapat banyak ketidaktahuan lainnya. Jadi perbuatan maksiat itu terjadi karena kebodohan, dan ketaatan dapat terwujud dengan pengetahuan. Demikian beberapa argumentasi yang dikemukakan kelompok pertama.

Catatan:

Efek maksiat yang tidak disadari adalah Allâh akan mencabut hidayah untuk bertaubat, padahal pelaku maksiat selalu beralasan akan bertaubat setelah maksiat. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an : Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Quran Surat At-Taubah Ayat 24 )

- Kelompok kedua berpendapat bahwa pengetahuan (ilmu) tidak mesti berimplikasi pada hidayah.

Mereka telah mendapat hidayah bayan tetapi kufur inad (membangkang) : Iblis, kaum Tsamud dan Fir’aun.

Banyak sekali kesesatan yang dilakukan secara sengaja dan dengan pengetahuan bahwa apa yang ia lakukan adalah kemaksiatan. Namun demikian, dia tetap memilih kesesatan dan kekafiran, padahal dia tahu bahwa itu mengakibatkan kesengsaraan dan kebinasaannya. Kelompok ini mengatakan bahwa iblis -guru kesesatan dan penganjur kekafiran— benar-benar mengetahui perintah Allah untuk sujud kepada Adam dan dia tidak menyangsikan hal itu sama sekali.

Walaupun demikian, iblis menentang dan melawan perintah itu sehingga dia mendapatkan laknat dan azab abadi, meskipun dia mengetahui hal itu secara pasti.

Bahkan, iblis bersumpah dengan kebesaran Allah bahwa dia akan menyesatkan semua makhluk-Nya kecuali hamba-hamba-Nya yang ikhlas. Iblis tidak meragukan adanya Allah dan keesaaan-Nya, dia juga tidak meragukan adanya hari kebangkitan, adanya surga dan neraka.

Akan tetapi dia tetap memilih neraka, memilih untuk menanggung laknat, kemurkaan, dan diusir dari langit dan dari surga. Ini semua dengan pengetahuannya yang jarang dimiliki banyak orang. Karena itulah iblis berkata,

"Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka tangguhkanlah kepadaku sampai hari manusia dibangkitkan." (al-Hijr: 36)

Ini adalah pengakuan iblis tentang hari kebangkitan dan kekekalan di dalamnya. Dia juga sudah mengetahui sumpah Tuhannya bahwa Dia akan memenuhi neraka dengan iblis dan para pengikutnya. Jadi kekafirannya adalah kekafiran penentangan semata, bukan kekafiran karena ketidaktahuan.

Catatan:

Kufur inad: Iblis tahu dan berilmu akan konsekuensinya tapi sengaja menentang. Bukan kufur jahl karena ketidaktahuan.

Allah ﷻ berfirman tentang kaum Tsamud, "Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami ben petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu." (Fushshilat: 17)

Artinya, Kami telah menjelaskan dan memberitahukan kebenaran (Hidayah bayan) kepada mereka sehingga mereka mengetahui dan meyakini kebenaran itu, tetapi mereka lebih memilih kebutaan (kesesatan). Jadi kekafiran mereka bukan karena kebodohan.

Allah ﷻ berfirman tentang Musa dalam pembicaraannya dengan Fir'aun,

قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَآ أَنزَلَ هَٰٓؤُلَآءِ إِلَّا رَبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ بَصَآئِرَ وَإِنِّى لَأَظُنُّكَ يَٰفِرْعَوْنُ مَثْبُورًا

"Musa menjawab: Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir'aun, seorang yang akan binasa.'" (al-lsraa': 102)

Ta dalam kata 'alim(ta) عَلِمْتَ jika dibaca dengan fathah, maka maknanya lebih tepat dan lebih jelas. Ini adalah bacaan mayoritas ulama. Hanya saja al-Kisa'i membacanya dengan dhamah, 'alim(tu).

Dalam bacaan pertama terbukti kekafiran dan pembangkangan Fir'aun. (Kafir Inad). Allah ﷻ juga menyatakan hal itu dalam firman-Nya tentang Fir'aun dan kaumnya,

فَلَمَّا جَآءَتْهُمْ ءَايَٰتُنَا مُبْصِرَةً قَالُوا۟ هَٰذَا سِحْرٌ مُّبِينٌ. وَجَحَدُوا۟ بِهَا وَٱسْتَيْقَنَتْهَآ أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا ۚ فَٱنظُرْ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُفْسِدِينَ

"Maka tatkala mukjizat-mukjizat Kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah mereka, 'Ini adalah sihir yang nyata.' Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka, perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan." (an-Naml: 13-14)

Dalam ayat ini Allah ﷻ memberitahukan bahwa pendustaan dan kekafiran mereka adalah dengan adanya keyakinan akan kebenaran Musa alaihissalam. Keyakinan merupakan pengetahuan yang paling kuat. Oleh sebab itu, mereka kafir karena kesombongan dan kezaliman mereka ( ظُلْمًا وَعُلُوًّا), bukannya karena ketidaktahuan.

Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati). Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, tetapi orang-orang yang zalim itu mendustakan ayat-ayat Allah." (al-An'am:33)

Artinya, "Sesungguhnya mereka mengetahui kebenaranmu wahai Muhammad. Mereka mengetahui bahwa apa yang engkau katakan bukanlah suatu kebohongan. Tetapi, mereka itu mengingkari dan menentangmu walaupun mereka tahu semua itu."

Ini adalah pendapat Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma dan para mufassir lainnya.

Lanjut bagian-3 InshaAllah...

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم