Rumah tangga yang bahagia adalah idaman setiap orang. Namun bila ditanyakan “Apa hakikat bahagia?” Mungkin pertanyaan ini sulit dijawab. Sebab, kebahagiaan itu adalah sesuatu yang bisa dirasakan, namun sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bahagia adalah sebuah perasaan.
Bahagia adalah sesuatu yang maknawi, sebuah perasaan yang lahir dalam hati, membawa berjuta makna. Dan orang yang merasakan kepuasan dan kecukupan, itulah orang yang bahagia.
Kebahagiaan itu dapat dirasakan oleh siapa saja. Kebahagiaan bukanlah monopoli orang yang berharta saja.
Bukankah rumah sederhana yang membuat seorang selalu tersenyum lebih baik daripada istana megah yang selalu membuatnya menangis, ibarat seekor burung dalam sangkar emas?
Berapa banyak pasangan suami istri yang siang malam diperbudak oleh hartanya, sehingga hubungan cinta kasih di antara mereka terasa sangat gersang. Bahagiakah kehidupan seperti itu?
Bahagia juga bukan monopoli pria tampan yang memiliki isteri cantik jelita.
Berapa banyak pria rupawan yang ketampanannya justru menjadi bumerang bagi dirinya?
Dan bukankah seorang wanita bersahaja yang mampu mendatangkan kebahagiaan lebih baik daripada wanita rupawan yang membawa kesengsaraan?
Kesimpulannya...
Bahagia tak dapat dikejar semata-mata dengan harta yang melimpah ataupun tampilan fisik semata.
Lalu bagaimanakah rumah tangga yang bahagia itu?
Ketahuilah, kebahagiaan itu hanya dapat diraih dan dirasakan oleh sepasang suami istri yang berpegang teguh dengan ajaran agama dalam segenap urusan kehidupan. Mereka senantiasa mensyukuri nikmat-nikmat Allah dan bersikap qana'ah.
Mereka ridha menerima sedikit yang diberi, tidak terlalu berharap terhadap apa yang ada di tangan manusia. Sungguh qana'ah adalah kekayaan yang tak kunjung habis: Beruntunglah orang yang qana'ah dan menerima apa yang Allah beri.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kamu yang merasa aman dirinya, sehat tubuhnya dan cukup persediaan makanan pokoknya untuk hari itu, seakan-akan ia telah diberi semua kenikmatan dunia.” (Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan diHasankan oleh Al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (2318).
Kaya bukanlah dengan banyaknya materi akan tetapi hakikat kaya itu adalah kaya hati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kaya itu bukanlah diukur dengan banyaknya materi, akan tetapi kaya yang sesungguhnya adalah kaya hati.” (Muttafaqun 'alaihi, Al-Bukhari (6446) dan Muslim (2467) dari Abu Hurairah).
Orang yang kaya hati akan qana'ah menerima apa yang Allah beri. Tidak berambisi mengejar lebih tanpa kebutuhan. Dan tidak rakus mengejar dunia dan tidak suka meminta-minta. Seolah-olah ia selalu berkecukupan.
Ada seorang lelaki yang mengeluhkan anaknya yang banyak kepada seorang Ahli Hikmah. Maka ia berkata kepadanya, “Coba periksa dari anak-anakmu yang tidak ditanggung rezekinya oleh Allah, lalu pindahkanlah ia ke rumahku.”
Sebenarnya kekayaan yang hakiki adalah merasa cukup bukan selalu merasa kurang. Sebagaimana yang dikata oleh Imam Asy-Syafi'i ketika ia menceritakan dirinya:
Meski tanpa harta tapi merasa cukup...
Tidak meminta-minta kepada manusia...
Sesunguhnya orang yang kaya adalah yang merasa Cukup
bukan orang yang selalu merasa kurang...
Tidakkah engkau dengar kisah seorang lelaki faqir yang hidup bahagia. Lalu setelah menjadi orang kaya karena tinggal di samping rumah seorang yang kaya raya. Mulailah istrinya merengek menuntutnya bekerja agar kaya raya seperti tetangganya. Maka berubahlah kebahagiannya menjadi kemalangan, kesengsaraan, pertengkaran dan kesusahan. Sehingga mereka berharap menjadi faqir kembali.
Seorang Ahli Hikmah berkata, “Bukti bahwa harta yang ada di tanganmu bukanlah milikmu adalah pengetahuanmu bahwa harta itu sebelumnya adalah milik orang lain.”
Ahli Hikmah lainnya berkata, “Hidup aman tapi faqir lebih baik daripada hidup kaya tapi dihantui rasa takut. Pengejar dunia selalu mengejar kekayaan bagaimanapun caranya.”
Imam Asy-Syafi'l berkata, “Siapa yang tujuannya hanyalah apa yang akan masuk ke dalam perutnya maka nilainya tidak lebih dari apa yang keluar dari perutnya.”
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ, ورُزِقَ كَفَافًا, وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ”
Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan diberikan oleh Allah sikap qana’ah (rasa cukup) terhadap pemberian-Nya” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Untuk lebih mensyukuri nikmat yang telah Allah ﷻ lilmpahkan kepada kita, lihatlah orang yang di bawah kita. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka dari itu, jangan suka membanding-bandingkan nikmat yang Allah beri kepadamu dengan yang Allah beri kepada orang lain. Agar kita tak terlalu bersedih atas apa yang terlewat sehingga kita lupa memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya.
Ini dalam urusan duniawi, adapun untuk amal-amal shalih maka yang dituntut adalah melihat orang yang kedudukannya lebih tinggi, dengan harapan bisa menyusulnya.
Suami dan istri harus bahu membahu saling membantu dalam urusan dunia maupun akhirat. Mereka memahami tugas dan hak masing-masing. Mereka hidup penuh kedamaian dan keharmonisan. Dan masing-masing pihak dapat memberikan kebahagian, kehangatan, dan ketentraman bagi pasangannya.
Selanjutnya, kebahagiaan rumah tangga akan membawa mereka kepada kebahagiaan yang kekal abadi dalam surga yang penuh kenikmatan. Mereka jadikan rumah tangga sebagai jalan meraih ridha Allah. Maka kebahagiaan ruma tanggapun menjadi salah satu anak tangga dalam meraih kebahagiaan yang kekal abadi di akhirat.
Saudaraku....
Kebahagiaan pasti diimpikan oleh setiap orang yang berakal sehat. Bergegaslah meraihnya dan carilah kebahagiaan itu bersama istrimu, bersama anak-anakmu, bersama keluargamu dan bersama siapa saja yang bergaul denganmu. Dengan cara membantu mereka, mencintai mereka dan menuntun tangan mereka kepada perkara yang dicintai Allah ﷻ.
Tuntunlah anak dan istrimu menempuh jalan kebahagiaan dengan tenang, thuma'ninah dan kasih sayang. Dengan mendidik istri dan anak-anak serta saling bahu membahu dalam mengerjakan ketaatan. Ciptakanlah suasana rumah tangga yang tenang yang mendorong kita untuk berbuat ketaatan, suasana rumah tangga yang nyaman, tidak membuat penat dan tidak membuat bosan dalam melaksanakan tanggung jawab.
Sekarang, mari kita simak pandangan Nabi ﷺ tentang kebahagiaan. Nabi ﷺ bersabda:
🏷️ "Empat perkara yang mendatangkan kebahagiaan:
1. Istri yang shalihah.
2. Rumah yang luas.
3. Tetangga yang shalih.
4. Kendaraan yang cepat.
🏷️ Empat perkara yang mendatangkan kesengsaraan:
1. Istri yang buruk.
2. Tetangga yang jahat.
3. Kendaraan yang buruk.
4. Rumah yang sempit.”
Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (282) dari hadits Sa'ad bin Abi Waqqash.
Nabi ﷺ juga bersabda:
🏷️ “Tiga perkara yang membawa kebahagiaan dan tiga perkara yang mendatangkan kesengsaraan. Adapun tiga perkara yang membawa kebahagiaan adalah:
🏷️ Adapun tiga perkara yang mendatangkan kesengsaraan:
Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (1047) dari hadits Sa'ad bin Abi Waqqash. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (1).
(1) Maksudnya: Saya memulai membaca Al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut 'Asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama Dzat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkanNya. Ar-Rahmaan (Maha Pemurah): Salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar-Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
Tentu, istri yang shalihah adalah istri yang paham dan taat beragama. Rumah yang luas adalah hati yang lapang dan luas yang senantiasa terisi dengan sifat qana'ah. Tetangga yang shalih adalah lingkungan dan pergaulan yang baik lagi shalih. Kendaraan yang cepat adalah setiap sarana dan harta yang kita miliki yang mendorong kita untuk segera dan berlomba-lomba dalam beramal shalih. Dan perabotan yang lengkap adalah ilmu yang bermanfaat yang mengisi hati kita.
Dan tentunya, istri yang buruk adalah istri yang tak paham dan tak taat beragama. Rumah yang sempit adalah hati yang sempit dan kosong dari sifat qana'ah. Tetangga yang jahat adalah lingkungan dan pergaulan yang jahat. Kendaraan yang lambat adalah sarana dan harta yang menahan kita berbuat ketaatan. Dan perabotan yang minim adalah ilmu yang dangkal lagi sedikit yang tak bisa mengisi hati.
Buku: Surat Terbuka untuk Para Suami
Penulis: Abu Ihsan al-Atsari & Ummu Ihsan Choiriyah Hafidzahumallah
Pustaka Darul Ilmi
Cetakan Kedua 2010