Sebagian orang mengira tidur sejenak di siang hari merupakan kebiasaan pemalas. Sebab orang malas akan lebih cenderung untuk menghabiskan waktu luang dengan tidur dan istirahat dari pada memanfaatkannya untuk beraktivitas, bekerja, atau menyelesaikan tugas. Pemahaman tersebut tentu tidak benar. Dan itu diantara sebabnya, dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan mereka akan tuntunan tidur atau istirahat sejenak di siang hari dalam padangan Islam. Atau, hal itu muncul dari mereka yang belum mengetahui, bahwa tidur sejenak di siang hari merupakan salah satu sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karenanya, sangat perlu untuk kami ketengahkan sebuah tulisan yang menerangkan bahwa tidur atau istirahat sejenak di siang hari adalah sunnah. Semoga bermanfaat.
Al-Qoilulah berasal dari kata Qoola, Yaqiilu, Qoilan, wa Qoo-ilatan, wa Qoilulatan, wa Maqoolan, wa Maqiilan.Para ahli bahasa mendefinisikannya dengan tidur di siang hari. Atau istirahat di siang hari, meskipun tidak dibarengi dengan tidur. (an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, juz 4, hlm 116-117, Lisanul ‘Arab, juz 11, hlm 688-689)
Abdullah bin Rowahah radhiyallahu ‘anhu, salah seorang penyair Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam sebuah bait syairnya:
اليَوْمَ نَضْرِبْكُمْ عَلَى تَنْزِيْلِهِ ضَرْباً يُزِيْلُ الهَـامَ عَنْ مَقِيْلِهِ
Hari ini kami pukul (kalahkan) kalian dengan ayat-Nya
Laksana pukulan yang melenyapkan kantuk dari tidur siangnya
Patut disyukuri di satu sisi, namun disesali di sisi yang lain, inilah yang kami komentari dari fenomena ODOJ ini. Mengapa demikian? Akan datang jawabannya insya Allah ta’ala.
Alhamdulillah, telah dipahami bersama bahwa ibadah adalah hikmah penciptaan hamba di muka bumi. Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku saja.” [Adz-Dzariyat: 56]
Bersamaan dengan itu, Allah ta’ala menjanjikan kebaikan yang berlipat ganda bagi siapa yang beribadah kepada-Nya dan mengancam dengan azab-Nya yang sangat pedih bagi siapa yang tidak beribadah kepada-Nya atau menyekutukan-Nya dalam ibadah.
Dan diantara ibadah yang sangat agung dengan janji pahala dan kebaikan yang melimpah adalah membaca Al-Qur’anul Karim. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْف وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْف وَلاَمٌحَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan tersebut dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan. Aku tidaklah mengatakan bahwa Alif Laam Miim itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf, dan Miim satu huruf.” [HR. At-Tirmidzi dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 3327]
Ilmu Syar’i adalah cahaya penerang bagi kehidupan seorang hamba di dunia menuju ke alam akhirat. Maka, barangsiapa menuntut ilmu syar’i dengan niat ikhlas karena Allah dan dengan tujuan agar meraih keridhoan-Nya semata, niscaya ia tidak akan berhenti dan bosan dari menuntut ilmu syar’i sebelum kematian menjemputnya.
» Allah Ta’ala berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ اليَقِي
Artinya: “Beribadahlah engkau kepada Allah hingga datang kepadamu kematian.” (QS. Al-Hijr).
Oleh karenanya, Nabi shallallahu alaihi wasallam senantiasa mengambil ilmu dan menerima wahyu dari Allah semenjak diangkat oleh Allah sebagai Nabi dan Rasul-Nya hingga Beliau wafat.
» Hal ini sebagaimana hadits yg diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata; “Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan wahyu-Nya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara berturut-turut hingga Beliau wafat. Dan kebanyakan wahyu itu diturunkan Allah pada hari Beliau wafat.” (HR. imam Al-Bukhari Dan Muslim).
» Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah selalu membawa Pena Dan tinta (untuk mencatat hadits dan faedah ilmiyah, pent) meskipun Beliau telah lanjut usia. Maka Ada seseorang yg bertanya kepadanya: “sampai kapankah engkau berbuat demikian?” Beliau jawab: “Hingga aku masuk ke liang kubur.”. (Lihat Manaaqibu Ahmad karya Ibnul Jauzi hal.31, dan Talbiisu Ibliis, karya Ibnul Jauzi hal.400).