Mengimani syafa’at dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari Kiamat adalah termasuk salah satu prinsip dasar aqidah (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jamaah yang tercantum dalam dalam kitab-kitab aqidah para imam Ahlus Sunnah.[1]
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “(Termasuk landasan pokok Islam adalah kewajiban) mengimani syafa’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) kepada suatu kaum (dari orang-orang muslim sehingga) mereka dikeluarkan dari neraka setelah mereka terbakar (api neraka) dan menjadi arang, kemudian Allah memerintahkan agar mereka dimasukkan ke dalam sungai di depan pintu surga, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits, sesuai dengan kehendak Allah.”[2]
Imam Abu Muhammad al-Barbahari berkata, “(Termasuk landasan pokok Islam adalah kewajiban) mengimani syafa’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang-orang yang berbuat dosa dan salah (dari kaum muslimin) pada hari Kiamat, juga di atas ash-shiraath (jembatan yang dibentangkan di atas permukaan neraka Jahannam), dan (dengan syafa’at) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluarkan mereka (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) dari dalam neraka Jahannam. Masing-masing Nabi memiliki syafa’at, demikian pula para shiddiq, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh…”[3]
Imam Abu Ja’far ath-Thahawi berkata, “Syafa’at yang Allah simpan untuk kaum muslimin (di akhirat nanti) adalah benar, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.“[4]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin berkata, “Kita (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) mengimani (membenarkan) syafa’at (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) bagi orang-orang yang masuk neraka dari kalangan kaum mukminin sehingga mereka keluar dari neraka. Syafa’at ini bisa dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, nabi-nabi lainnya, orang-orang yang beriman (yang shaleh) dan para malaikat (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala). Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengeluarkan dari neraka orang-orang (yang berbuat dosa) dari kaum mukminin tanpa syafa’at, tapi dengan karunia dan rahmat-Nya.”[5]
Selengkapnya: Mengimani Syafa’at Allah - Termasuk Prinsip Dasar Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah
Adz dzabhu (penyembelihan) adalah perkara yang lazim dan hampir tiap waktu terjadi dihadapan kita. Maka seyogyanya bagi kaum muslimin untuk mengetahui hukum-hukum syar’i yang berkenaan masalah tersebut.
Apalagi tidak sedikit dari kaum muslimin yang mulai rapuh keimanannya dan sudah mulai enggan untuk mendatangi majelis-majelis ilmu syar’i, dikarenakan tenggelamnya mereka kedalam lembah syahwat dan lautan syubhat yang menghancurkan prinsip-prinsip aqidah agama mereka, sehingga mereka menyangka syirik itu tauhid dan tauhid adalah syirik, bid’ah adalah sunnah dan sunnah adalah bid’ah, dan tidak tahu mana yang haram dan mana pula yang halal. Terbukti tidak sedikit dari mereka ikut serta dan andil dalam menggelar acara besar-besaran penyembelihan hewan kurban dalam rangka menghilangkan bala’, mala petaka atau pun musibah dan juga untuk meraih harapan duniawiyah seperti kerja, mencari jodoh, jabatan dan semisalnya, Semuanya dipersembahkan kepada dhayang (penunggu) pantai atau tempat-tempat yang dikeramatkan dengan suatu argumen.Bahkan sebagian menyatakan bahwa ini adalah adat istiadat atau acara ritual nasional yang harus di lestarikan. Ada juga yang dilakukan di kuburan-kuburan para wali sebagai wasilah (perantara) antara mereka dengan Allah 'azzawajalla. Bagaimanakah Islam memandang permasalahan ini ?
Kedudukan Adz dzabhu
Adz dzabhu adalah suatu perbuatan untuk mengeluarkan ruh dengan cara mengalirkan darah dari hewan tertentu dengan tujuan tertentu pula. Jika sesembelihan tersebut diperuntukkan kepada Allah 'azzawajalla dalam rangka taqorrub(mendekatkan diri) dan ta’zhim (pengagungan) dan sesuai tuntunan syari’at, maka hal itu merupakan semulia-mulia ibadah maaliyah (harta benda), seperti halnya sholat merupakan seutama-utama ibadah badaniyah. Hal ini bisa disimak dari firman Allah 'azzawajalla yang selalu diiringkan antara adz dzabhu dengan sholat :
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحۡيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ -١٦٢- لَا شَرِيكَ لَهُ·ۥۖ وَبِذَٲلِكَ أُمِرۡتُ وَأَنَا۟ أَوَّلُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ -١٦٣
Katakanlah (wahai Muhammad),sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku hanya untuk Allah robbul ‘alamin yang tidak ada sekutu bagi-Nya.(Q.S. Al An’am 162-163)
Begitu indah dan menyenangkan surga Alloh Subhanahu wa Ta’ala pada jiwa-jiwa anak manusia yang diberi hati dan akal yang jernih pada jasadnya, karena didalamnya terdapat kenikmatan-kenikmatan yang tiada tara, luasnya tempat yang yang tidak bisa diukur oleh manusia, keindahan yang sangat menyilaukan dan mengagumkan hati manusia serta kelezatan – kelezatan yang tidak dapat menandinginya segala kenikmatan dunia.
Kemudian diantara kenikmatan-kenikmatan surga Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang akan diberikan bagi penghuninya adalah :
Yang Pertama : Dapat melihat Alloh, bagi orang-orang mu’min yang masuk ke dalam surganya.
Hal ini sebagaimana telah disebutkan dalam kitab ‘Uluwul Himmah Fii Tholabil Jannah,” Sesungguhnya kenikmatan yang paling utama yang akan diperoleh penghuni surga adalah dapat melihat Alloh”(1). Dan begitu juga dikatakan dalam kitab syarh Lum’atul I’tiqod “ orang orang mu’min melihat Robb mereka di akhirat dengan penglihatan mereka yang kemudian mereka menjumpai Alloh dan saling berdialog. Dan Alloh pun berfirman :
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ [22] إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ [23
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. ( Qs: Al - Qiyaamah : 22-23)
Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Qur’an tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wata’ala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki.
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah “Tahlilan”.
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan “lebih dari sekedarnya” cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya.
Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: “wajib”) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan.
Para pembaca, pembahasan kajian kali ini bukan dimaksudkan untuk menyerang mereka yang suka tahlilan, namun sebagai nasehat untuk kita bersama agar berpikir lebih jernih dan dewasa bahwa kita (umat Islam) memiliki pedoman baku yang telah diyakini keabsahannya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah.