Berikut kami sampaikan fatwa Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku Ketua Umum Dewan Pengurus Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Pembimbingan Kerajaan Saudi Arabia (Ro’is Al ‘Aam Li-idarot Al Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad) mengenai Zakat Fithri dengan uang. Semoga bermanfaat.
Alhamdulillahi robbil ‘alamin wa shollallahu wa sallam ‘ala ‘abdihi wa rosulihi Muhammad wa ‘ala alihi wa ashhabihi ajma’in
Wa ba’du : Beberapa saudara kami pernah menanyakan kepada kami mengenai hukum membayar zakat fithri dengan uang.
Jawaban :
Tidak ragu lagi bagi setiap muslim yang diberi pengetahuan bahwa rukun Islam yang paling penting dari agama yang hanif (lurus) ini adalah syahadat ‘Laa ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah’. Konsekuensi dari syahadat laa ilaha illallah ini adalah seseorang harus menyembah Allah semata. Konsekuensi dari syahadat ‘Muhammad adalah Rasul-Nya’ yaitu seseorang hendaklah menyembah Allah hanya dengan menggunakan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Telah kita ketahui bersama) bahwa zakat fithri adalah ibadah berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Dan hukum asal ibadah adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Oleh karena itu, setiap orang hanya dibolehkan melaksanakan suatu ibadah dengan menggunakan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah mengatakan mengenai Nabi-Nya ini,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm [53] : 3-4)
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya dan para pengikutnya.
Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang paling utama setelah syahadat. Di dalam Shalat berbagai macam ibadah terkumpul seperti, dzikrullah, bacaan al qur’an, berdiri, rukuk, sujud di hadapan Allah, berdo’a padaNya, tasbih, takbir dan lainnya. Shalat merupakan induk ibadah badaniyah. Tatkala Allah hendak menurunkan syariat shalat Dia memi’rajkan RasulNya ke langit [Bukhari (349), Muslim (162)], hal ini berbeda dengan syariat-syariat yang lain.
Artikel berikut menjelaskan bacaan surat yang dibaca Rasulullah Sholallohu'alaihi wasallam dalam sholat beliau yang lima waktu, yang ana rangkum dari tulisan Ustadz Abu Muawiah. Semoga menambah semangat kita dalam mengamalkan sunnahnya.
BACAAN DALAM SHALAT SUBUH
Allah Ta’ala berfirman:
اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ اِلٰى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْاٰنَ الْفَجْرِۗ اِنَّ قُرْاٰنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوْدًا 78.
Laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula salat) Subuh. Sungguh, salat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. Al-Isra`: 78)
Dari Jabir bin Samurah -radhiallahu anhu- dia berkata:
إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ بِق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca pada shalat shubuh, ‘Qaf wal Qur’an al-Majid’ (surah Qaf).” (HR. Muslim no. 458)
Dari Abu Barzah Al-Aslami -radhiallahu anhu- dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْفَجْرِ مَا بَيْنَ السِّتِّينَ إِلَى الْمِائَةِ آيَةً
“Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bisa membaca dalam shalat shubuh antara enam puluh hingga seratus ayat.” (HR. Al-Bukhari no. 508 dan Muslim no. 461)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- dia berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْجُمُعَةِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةَ وَهَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنْ الدَّهْرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat subuh membaca: “ALIF LAAM MIIM TANZIIL AS-Sajadah (Surah As-Sajadah), dan ‘HAL ATAA ‘ALAL INSAANI HIINUM MINAD DAHRI (Surah Al-Insaan).” (HR. Al-Bukhari no. 891 dan Muslim no. 879)
Dari seorang laki-laki dari Juhainah dia berkata:
أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ إِذَا زُلْزِلَتْ الْأَرْضُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ كِلْتَيْهِمَا
“Bahwa dia telah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat subuh: “IDZA ZULZILATIL-ARDHU ZILZALAHA,” pada kedua rakaatnya.” (HR. Abu Daud no. 816 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Sifatush Shalah hal. 110)
Penjelasan ringkas:
Di antara sunnah Nabi -alaihishshalatu wassalam- dalam shalat subuh adalah memanjangkan bacaan surah di dalamnya, hal itu karena dia adalah shalat yang disaksikan oleh para malaikat. Beliau terus-menerus melakukan hal tersebut, hanya saja terkadang beliau juga membaca surah pendek, misalnya mengulangi surah Az-Zalzalah pada kedua rakaat shalat subuh.
BACAAN SHALAT ZUHUR & ASHAR
Dari Abu Said Al-Khudri -radhiallahu anhu- dia berkata:
“Sungguh iqamah shalat zhuhur telah dikumandangkan, lalu ada seseorang yang pergi ke Baqi’ untuk buang hajat. Setelah itu dia berwudhu kemudian dia mendatangi (shalat jama’ah) kembali, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih pada raka’at pertama, hal itu karena beliau memperpanjang bacaan padanya.” (HR. Muslim no. 454)
Dari Abu Qatadah -radhiallahu anhu- dia berkata:
“Rasulullah shalat mengimami kami lalu beliau membaca surah al-fatihah dan dua surah dalam shalat zhuhur dan ashar pada dua rakaat yang pertama. Dan terkadang beliau memperdengarkan (bacaan) ayatnya kepada kami. Beliau memanjangkan rakaat pertama shalat zhuhur dan memendekkan yang kedua. Dan demikian juga yang beliau lakukan dalam shalat shubuh.” (HR. Al-Bukhari no. 759 dan Muslim no. 451)
Maksud ‘membaca surah al-fatihah dan dua surah dalam shalat zhuhur dan ashar pada dua rakaat yang pertama’ adalah: Beliau membaca surah Al-Fatihah dan satu surah lainnya pada setiap rakaat.
Dari Jabir bin Samurah -radhiallahu anhu- dia berkata:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca dalam shalat zhuhur ‘Wal-laili idza yaghsya’, dan dalam shalat ashar membaca surah semisal itu panjangnya. Sementara dalam shalat shubuh beliau membaca surah yang lebih panjang dari itu.” (HR. Muslim no. 459)
Penjelasan ringkas:
Bacaan Nabi -alaihishshalatu wassalam- dalam shalat zuhur dan ashar adalah dari salah satu dari surah-surah mufashshal yang panjangnya pertengahan. Beliau biasanya memanjangkan bacaan pada rakaat pertama shalat zuhur, sampai-sampai walaupun setelah iqamah ada orang yang pergi ke daerah Baqi’ untuk buang air besar lalu dia berwudhu dan kembali ke masjid, niscaya dia tidak akan masbuk satu rakaat pun. Sementara pada rakaat yang kedua, beliau membaca surah yang lebih pendek dari itu, semisal surah Al-Lail.
Hadits Abu Qatadah di atas menunjukkan bolehnya imam sekali-sekali menjahrkan satu ayat dari surah yang dia baca setelah al-fatihah, tapi tidak sering. Dan juga menunjukkan bagaimana hikmah Nabi -alaihishshalatu wassalam- dalam masalah panjang dan pendeknya bacaan pada kelima shalat waktu, dimana dalam semua itu beliau mempertimbangkan keadaan jamaah. Wallahu a’lam.
BACAAN DALAM SHALAT MAGHRIB & ISYA
Dari Jubair bin Muth’im -radhiallahu anhu- berkata:
“Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam membaca surat Ath-Thur dalam shalat Maghrib.” (HR. Al-Bukhari no. 765 dan Muslim no. 463)
Dari Jabir -radhiallahu anhu- dia berkata:
“Biasanya Muadz shalat bersama Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, kemudian dia datang, lalu mengimami kaumnya. Maka pada suatu malam, dia melakukan shalat Isya’ bersama Nabi Shallallahu’alaihiwasallam, kemudian setelah itu dia mendatangi kaumnya, lalu mengimami mereka. Dalam shalatnya dia membaca surat Al-Baqarah, maka seorang laki-laki keluar dari shalatnya, kemudian shalat sendirian, lalu pergi. Maka mereka berkata kepadanya, “Apakah kamu berlaku munafik wahai fulan?” Dia menjawab, “Tidak, demi Allah, aku akan mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, lalu aku akan mengabarkan kepada beliau (perbuatan Muadz ini).” Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam seraya berkata, “’Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami para pekerja penyiram (tanaman) bekerja pada siang hari (sehingga kecapekan), dan sesungguhnya Mu’adz shalat Isya’ bersamamu, kemudian dia datang mengimami kami dengan membaca surah Al-Baqarah.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam menghadap Mu’adz seraya bersabda, “Wahai Mu’adz, apakah kamu tukang fitnah (yang membuat orang lari dari agama, pent.). Bacalah dengan surat ini dan bacalah dengan ini.” (HR. Al-Bukhari no. 664 dan Muslim no. 465)
Dalam riwayat Al-Bukhari:
“Mengapa kamu tidak membaca saja surat ‘Sabbihisma rabbika’, atau dengan ‘Wasysyamsi wa dluhaahaa’ atau ‘Wallaili idzaa yaghsyaa’?” Karena yang ikut shalat di belakangmu mungkin ada orang yang lanjut usia, orang yang lemah, atau orang yang punya keperluan.”
Al-Bara’ bin Azib -radhiallahu anhu- berkata:
“Saya pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat shalat Isya membaca ‘WATTIINI WAZZAITUUN (surah At-Tiin) ‘. Dan belum pernah kudengar seorang pun yang lebih indah suaranya, atau bacaannya daripada beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 766 dan Muslim no. 464)
Penjelasan ringkas:
Bacaan surah Nabi -alaihishshalatu wassalam- di dalam shalatnya berbeda-beda antara satu shalat dengan shalat yang lainnya. Terkadang dalam shalat maghrib beliau membaca surah yang pendek dari surah-surah mufashshal dan terkadang beliau membaca surah mufashshal yang panjang, seperti surah Ath-Thur. Surah-surah mufashshal adalah mulai dari surah Qaf sampai An-Naas, dengan perinciang sebagai berikut: Surah Qaf sampai An-Naba` adalah thiwal al-mufashshal (surah mufashshal yang panjang), surah An-Naba` sampai Adh-Dhuha adalah awasith al-mufashshal (surah mufashshal yang pertengahan), dan surah Adh-Dhuha sampai akhir adalah qishar al-mufashshal (surah mufashshal yang pendek).
Adapun dalam shalat isya, maka beliau telah memerintahkan Muadz untuk membaca surah Al-A’la atau Adh-Dhuha atau Al-Lail, sementara beliau sendiri membaca surah At-Tiin.
Pelajaran lain dari hadits-hadits di atas:
Wallahu Ta’ala A’lam, wafauqa kulli dzi ilmin alim.
Shalat Isyraq adalah permulaan shalat Dhuha, di mana waktu shalat Dhuha itu dimulai dari terbitnya matahari.
Penetapan penamaan shalat ini pada waktu shalat Dhuha sebagai shalat Isyraq diperoleh dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan : “Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku”. Lalu Ummu Hani berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, yang saat itu adalah waktu Dhuha, berdiri, ruku, sujud, dan duduknya adalah sama, yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya”. Kemudian Ibnu Abbas keluar seraya berkata : “Aku pernah membaca di antara dua papan, aku tidak pernah mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang.
“Artinya : Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad : 18]
Dan aku pernah bertanya : “Mana shalat Isyraq ?” Dan setelah itu dia berkata : “Itulah shalat Isyraq” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim [Atsar hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya XXIII/138 –al-Fikr dari dua jalan.]
Selengkapnya: Shalat Isyraq - Cara Mudah Mendapatkan Pahala Haji dan Umrah
Sebagaimana dimaklumi bersama, shalat merupakan amal ibadah yang sangat agung dan mulia. Betapa tidak, Alloh dan RasulNya selalu menyebutnya, memuji orang-orang yang menegakkannya dan mengancam keras orang-orang yang melalaikannya, lebih-lebih meninggalkannya. Terlalu panjang masalah ini uraiannya! Setiap muslim dan muslimah pasti mendambakan agar shalatnya diterima oleh Alloh. Namun bagaimanakah caranya agar amal ibadah ini diterima olehNya, berpahala, dan tak sia-sia belaka?!
Sebagaimana lazimnya seluruh ibadah, shalat seorang hamba sia-sia kecuali memenuhi dua syarat:
Pertama: Ikhlas.[1] Seorang harus benar-benar memurnikan niatnya hanya untuk Alloh, bukan karena pamrih kepada manusia, bangga terhadap dirinya, atau penyakit hati lainnya. Syarat ini, sekalipun memang berat—bahkan lebih sulit dari syarat kedua—tetapi barangsiapa yang berusaha dan bersungguh-sungguh, niscaya akan dimudahkan oleh Alloh.
Kedua: Al-Ittiba’. Seorang harus berupaya untuk mencontoh tata cara shalat yang telah dituntunkan oleh Nabi yang mulia. Hal ini sebagaimana tertera dalam hadits:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ
Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad)
Konsekuensi syarat kedua ini adalah ilmu. Sebab bagaimana mungkin kita akan dapat shalat sesuai tuntunan Nabi padahal kita tidak mengilmuinya?! Di antara petunjuk Nabi dalam shalat adalah “sutrah”. Mengingat begitu pentingnya masalah ini dan terabaikannya sunnah ini di lapisan mayoritas masyarakat kita sekarang, maka penulis terdorong untuk membahasnya, sekalipun secara ringkas.
Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu 'ala Rosulillah wa 'ala aalihi wa shohbihi ajma'in.
Mungkin kita pernah menyaksikan sebagian orang ketika shalat dalam keadaan penutup kepala. Apakah seperti ini bermasalah, artinya tidak afdhol atau bahkan tidak dibolehkan sama sekali ketika shalat? Berikut ada pelajaran menarik dari ulama Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) akan hal ini. Fatwa ini lebih menenangkan karena dibangun atas kaedah yang tepat. Moga bermanfaat.
Al Lajnah Ad Daimah ditanya,
Apa hukum shalat tanpa penutup kepala dan ini dilakukan terus menerus? Ada yang mengatakan bahwa memakai peci (songkok) bukanlah sunnah (ajaran yang patut diikuti) karena tidak ada hadits yang menjelaskan hal ini. Oleh karena itu sekelompok orang mengatakan di negeri kami bahwa mengenakan peci bagi orang yang shalat dan selainnya bukanlah ajaran yang patut diikuti. Sampai-sampai dalam rangka melecehkan, mereka menyebut peci dengan "qith'at qumaas" (hanya sekedar potongan kain tenun).