Uang termasuk dalam keumuman harta benda yang terkena kewajiban zakat, karena uang dengan berbagai jenis mata uang yang ada pada masa ini dan mendominasi muamalah kaum muslimin, menggantikan posisi emas (dinar) dan perak (dirham) yang dipungut zakatnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Uang sebagai pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) menjadi tolok ukur dalam menilai harga suatu barang sebagaimana halnya dinar dan dirham pada masa itu.1. Pengertian Aqiqah
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud hal.25-26, mengatakan bahwa: Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah "Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya". Selanjutnya Ibnu Qayyim berkata: "Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama."
Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi syar'i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau menyembelih (an-nasikah).
2. Dalil-dalil Syar'i Tentang Aqiqah
Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah صلی الله عليه وسلم para sahabat serta para ulama salafusholih.
Kebanyakan orang di tempat kita menganggap bahwa termasuk ciri khas seorang muslim yang taat kepada Alloh adalah selalu berdzikir dengan biji tasbih di tangan. Gambaran ini semakin kuat dengan gambar tokoh-tokoh yang dianggap berjasa bagi Islam tampil dengan busana muslim lengkap dengan tasbihnya yang sengaja dibuat dan dijual untuk keuntungan duniawi seperti gambar-gambar wali songo dan lainnya, ditambah lagi tayangan sinetron religi yang sarat dengan kebatilan, apabila menampilkan tokoh agama, hampir dipastikan ada biji tasbih di tangannya.
Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam “memaknainya”.Selengkapnya: Meneladani Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam Ber'idul Fithri
Hari raya selalu identik dengan kegiatan pulang ke kampung halaman untuk bertemu dengan sanak keluarga atau yang dikenal dengan istilah ‘mudik’. Acapkali mudik tersebut harus ditempuh dengan perjalanan yang cukup jauh (safar). Seorang muslim yang baik tentu saja tidak akan melalaikan kewajiban utamanya untuk tetap beribadah pada Allah meski pun berada dalam kondisi safar yang melelahkan. Artikel berikut akan mengulas permasalahan sholat seorang musafir yang dikutip dari makalah karya Al Ustadz Abu ‘Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As Sidawi – hafidzahullah- dalam Majalah Al Furqon edisi 11/tahun-8.