بسم الله الرحمن الرحيم
✍🏼Karya : Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-Abbad Al-Badr حفظه الله تعالى
محركات القلوب
Bab 4: Penggerak-penggerak Hati
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّاعَةِ، فَقَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ: «وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لَهَا». قَالَ: لاَ شَيْءَ، إِلَّا أَنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ». قَالَ أَنَسٌ: فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ، فَرِحْنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ» قَالَ أَنَسٌ: فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ، وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ. [صحيح] - [متفق عليه] - [صحيح البخاري: 3688]
Anas -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Seorang arab badui bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hari Kiamat. Dia berkata, "Kapan hari Kiamat akan terjadi?" Beliau ﷺ bersabda, "Apa yang telah engkau siapkan untuk hari Kiamat?" Orang itu menjawab, "Tidak ada. Hanya saja aku mencintai Allah dan Rasul-Nya ﷺ." Beliau bersabda, "Engkau akan bersama orang yang engkau cintai." Anas berkata, "Belum pernah kami bahagia dengan sesuatu seperti bahagianya kami dengan sabda Nabi ﷺ, 'Engkau bersama orang yang engkau cintai.'" Anas melanjutkan, "Sungguh aku mencintai Nabi ﷺ, Abu Bakar dan Umar. Aku berharap akan bersama mereka dengan sebab kecintaanku pada mereka sekalipun aku belum beramal semisal amal mereka."
[Sahih] - [Muttafaq 'alaihi] - [Sahih Bukhari - 3688]
عَنْ أَنَسٍ: " أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى شَابٍّ وَهُوَ فِي الْمَوْتِ، فَقَالَ:
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk seorang pemuda yang sedang menjelang sakaratul maut (saat menjelang kematian), maka beliau bertanya kepada pemuda tersebut:
«كَيْفَ تَجِدُكَ؟». قَالَ: وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّى أَرْجُو اللَّهَ وَإِنِّى أَخَافُ ذُنُوبِي. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ «لاَ يَجْتَمِعَانِ فِى قَلْبِ عَبْدٍ فِى مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ» رواه الترمذي وابن ماجه وغيرهما.
“Apa yang kamu rasakan (dalam hatimu) saat ini?”. Dia menjawab: “Demi Allah, wahai Rasulullah, sungguh (saat ini) aku (benar-benar) mengharapkan (rahmat) Allah dan aku (benar-benar) takut akan (siksaan-Nya akibat dari) dosa-dosaku”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah terkumpul dua sifat ini (berharap dan takut) dalam hati seorang hamba dalam kondisi seperti ini kecuali Allah akan memberikan apa yang diharapkannya dan menyelamatkannya dari apa yang ditakutkannya”
HR at-Tirmidzi (no. 983), Ibnu Majah (no. 4261) dan al-Baihaqi dalam “Syu’abul iman” (no. 1001 dan 1002), dinyatakan hasan oleh imam at-Tirmidzi, al-Mundziri dan syaikh al-Albani dalam “Shahihut targiib wat tarhiib” (no. 3383).
Hadits di atas mengumpulkan tiga perkara yang sangat penting dari amalan-amalan hati yang harus disiapkan sebagai bekal untuk bertemu dengan Allah Azza wa Jalla, yaitu kecintaan kepada Allah, berharap kepada-Nya, dan rasa takut kepada-Nya. Tiga perkara ini harus ada dalam setiap ibadah. Dalam semua ibadah, harus terkandung kecintaan, harap, dan takut kepada Allah Azza wa Jalla.
Allah berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 165)
Dalam perkara harap, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلَّا الضَّالُّونَ
“Dan tidaklah berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang tersesat.” (QS. Al-Hijr [15]: 56)
Dalam masalah takut, Allah Ta’ala berfirman:
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ ۚ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Apakah mereka merasa aman dari makar Allah? Tidaklah merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf [7]: 99)
Tiga perkara ini tergabung dalam firman Allah Azza wa Jalla:
أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Allah, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah), mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” (QS. Al-Isra [17]: 57)
KEDUDUKAN RASA CINTA, HARAP DAN TAKUT DALAM IBADAH
Kedudukan rasa cinta dalam ibadah seperti kebutuhan jasad kepada roh. Cinta adalah yang membangkitkan hati untuk melaksanakan ibadah dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menjauhi segala larangan-Nya. Cinta [hubb] adalah pondasi dari ibadah, bahkan roh dari ibadah itu sendiri.
Adapun raja’, yaitu rasa harap, adalah pemimpin bagi jiwa. Tidak mungkin seorang istiqamah diatas ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali dengannya. Demikian juga dengan rasa takut (khauf), yang akan menghalangi jiwa dari perbuatan haram.
Wahab bin Munabbih Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Jiwa itu seperti jiwa hewan dan binatang. Adapun iman adalah pemimpin dan amal adalah penuntun. Jiwa itu selalu membangkang, maka apabila pemimpinnya lemah, ia akan membangkang kepada penuntunnya. Bila penuntunnya lemah, ia akan tersesat dari jalan yang benar” (Diriwayatkan oleh Al-Ajury dalam Kitab Adabun Nufus,13).
Dalam ucapan beliau tadi, nafsu atau jiwa dipermisalkan dengan hewan yang selalu membangkang karena ia banyak melawan pemiliknya dan tidak bisa dikuasai kecuali jika ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ilmu dan amal.
Ibnu Taimiyah Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Sesungguhnya ilmu adalah pemimpin dan amal adalah penuntun. Dan nafsu itu selalu membangkang. Apabila pemimpinnya lemah, maka penuntunnya juga tidak akan berjalan dengan baik. Apabila penuntunnya lemah, maka tidak mungkin pemimpinnya bisa menuntun yang menjadi bawahannya. Apabila ilmu lemah, seorang yang berjalan akan kebingungan dan tidak mengetahui ke mana ia akan berjalan. Maka ia akan berserah diri kepada takdir. Apabila ia meninggalkan amal, ia akan kebingungan mencari jalan yang benar, sehingga dia akan mencari jalan lain dan tidak mengetahui ke mana harus berjalan, maka dia akan tersesat.” [Majmu’ Fatawa 10/544].
Rasa harap adalah penuntun seseorang untuk melaksanakan semua kebaikan yang mengajaknya melakukan ketaatan dan menuntunnya untuk serius dalam beribadah. Rasa takut akan menghalangi seseorang dari perbuatan yang diharamkan. Rasa harap bermanfaat dalam menuntun kepada ketaatan, dan rasa takut bermanfaat dalam menghalangi dari keharaman. Tidak boleh dilebihkan rasa harap dari rasa takut, dan tidak boleh dilebihkan rasa takut dari rasa harap. Keduanya harus dijalankan secara bersamaan seperti dua sayap burung.
Barangsiapa yang lebih mendahulukan rasa harap dari rasa takut, dia akan merasa aman dari makar dan adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa yang mengutamakan atau mendahulukan rasa takut dari rasa harap, dia akan putus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma, datang seorang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya tentang dosa-dosa besar. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Menyekutukan Allah, putus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari makar Allah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka rasa aman dari makar Allah disebabkan karena seorang terlalu berharap kepada Allah. Adapun putus asa dari rahmat Allah disebabkan karena seorang terlalu mendahulukan rasa takut. Dan yang wajib bagi setiap hamba adalah memiliki dua rasa ini, rasa harap dan rasa takut, secara seimbang.
Seorang hamba sangat membutuhkan tiga rukun ibadah ini: cinta, harap, dan rasa takut, agar ia dapat konsisten dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua kelalaian yang dilakukan manusia disebabkan karena berlebihan atau kurang dari tiga perkara ini.
Tiga perkara ini, yaitu rasa cinta, rasa harap, dan rasa takut, adalah penggerak yang sangat bermanfaat untuk hati. Apabila terdapat di hati seseorang, ia akan berjalan dengan cepat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencari ridha-Nya dan menjauhi perkara-perkara yang dimurkai. Juga akan sedikit penyakit-penyakit hati, bahkan bisa hilang penyakit-penyakit tersebut.
Shaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan bahwa kita perlu memperhatikan kaidah-kaidah yang bisa menggerakkan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga ia selalu berpegang teguh kepadanya dan akan sedikit penyakit-penyakitnya bahkan bisa hilang sama sekali dengan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Beliau berkata bahwasanya penggerak-penggerak hati kepada Allah Azza wa Jalla ada tiga, yaitu rasa cinta, rasa takut, dan rasa harap. Yang paling kuat adalah rasa cinta kepada Allah Azza wa Jalla, karena ia benar-benar menjadi tujuan. Rasa cinta ini akan terus ada di dunia dan di akhirat, berbeda dengan rasa takut yang akan hilang nanti di akhirat. Sebagaimana firman Allah:
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Ketahuilah, wali-wali Allah tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa sedih pada hati mereka.” (QS. Yunus[10]: 62)
*****
Adapun rasa takut yang diharapkan adalah rasa takut yang menghalangi seorang hamba dari keluar dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasa cinta akan menjadikan seorang hamba berjalan di atas jalan yang dicintai-Nya, semakin lemah atau semakin kuat, demikian pula jalannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasa takut akan menghalangi seorang keluar dari jalan Allah Azza wa Jalla, jalan yang dicintai-Nya. Rasa harap akan menuntun seorang di jalan tersebut.
Ini adalah perkara penting yang harus diketahui oleh setiap hamba, dan ia tidak akan bisa beribadah dengan sempurna kecuali dengan tiga perkara ini. Setiap orang harus beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak boleh beribadah kepada selain-Nya. Apabila dikatakan terkadang seorang tidak mempunyai rasa cinta yang bisa membangkitkannya untuk menggerakkan hatinya, maka jawabannya adalah yang bisa menggerakkan rasa cinta tersebut ada dua perkara.
Yang pertama adalah dengan banyak berdzikir, mengingat yang dicintainya (yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala). Dengan banyak berzikir, seorang akan menggantungkan hatinya kepada Allah Azza wa Jalla, sebagaimana firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا * وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah dengan dzikir yang banyak dan bertasbihlah di pagi dan sore hari.” (QS. Al-Ahzab[33]: 41-42)
Yang kedua adalah selalu memperhatikan karunia dan nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla, mengingat nikmat-nikmat tersebut sebagaimana perintah Allah:
فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan ingatlah nikmat-nikmat Allah agar kalian beruntung.” (QS. Al-A’raf[7]: 69)
Dan juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ…
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka itu datangnya dari Allah.” (QS. An-Nahl[16]: 53)
Maka, apabila seorang hamba mengingat nikmat-nikmat Allah dan apa yang Allah tundukkan untuknya dari langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya, dari pepohonan, berbagai macam binatang ternak, serta nikmat yang tidak terlihat, juga nikmat keimanan, maka itu akan membangkitkan rasa cinta dan rasa takut akan mengingatkan ayat-ayat yang mengandung ancaman, larangan, perjumpaan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan hari perhitungan. Rasa takut juga akan membangkitkan keinginan untuk mengingat kedermawanan, kemurahan, dan pengampunan Allah Azza wa Jalla, sehingga ia akan selalu bersemangat beribadah kepada-Nya. [Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 1/95-96].
Dan Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Jika cinta [hubb] adalah pondasi dari setiap ibadah, maka khauf, Raja’, dan hal-hal lainnya mengharuskan cinta dan kembali padanya. Orang yang berharap hanya menginginkan apa yang dicintainya, bukan apa yang dibencinya. Dan orang yang takut melarikan diri dari rasa takut untuk mencapai apa yang dicintainya.
Allah ta’aala berfirman:
أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. [Al-Isra': 57]
Dan Dia berfirman:
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُوا۟ وَجَٰهَدُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أُو۟لَٰٓئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ ٱللَّهِ ۚ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Baqarah: 218].
Rahmat-Nya adalah Ismun jami'un sebuah nama yang mencakup semua kebaikan, dan adzab-Nya adalah Ismun jami'un sebuah nama yang mencakup semua kejahatan. Tempat tinggal rahmat adalah Surga, dan tempat tinggal adzab adalah Neraka. Adapun dunia ini, itu adalah tempat yang menipu. [Tuhfathul ’Iraqiyah – Ibnu Taimiyah hal. 66].
Ketiga hal ini diwajibkan oleh Allah ﷻ kepada hamba-hamba-Nya, dan harus ada di dalam hati mereka. Para ulama menyebutnya "Rukun ibadah yang dilandasi hati", karena merupakan pondasi yang membangun agama. Ketiganya harus dipatuhi dalam setiap ketaatan yang mendekatkan seseorang kepada Allah ﷻ.
Al-Hafiz Ibnu Rajab, semoga Allah merahmatinya, berkata: “Telah diketahui bahwa ibadah dibangun di atas tiga prinsip dasar: takut, harapan, dan cinta. Masing-masing merupakan kewajiban, dan menggabungkan ketiganya merupakan kewajiban yang niscaya. Karena itulah para Salaf (pendahulu yang saleh) akan mengecam orang-orang yang beribadah dengan salah satu dari ini dan mengabaikan yang lain. Bid’ah kaum Khawarij dan orang-orang seperti mereka muncul dari kerasnya rasa takut dan keengganan untuk cinta dan harapan. Bid’ah kaum Murji’ah muncul dari keterikatan pada harapan saja dan keengganan untuk takut. Bid’ah dari banyak orang yang dikaitkan dengan ibadah, muncul dari cinta yang berlebihan dan keengganan untuk takut dan berharap.” (Istinsyaq Nasim al-Uns - Ibn Rajab (3/292) dari Kumpulan tulisan Imam Ibn Rajab.)
Ketiga pilar ini digabungkan dalam bab pembuka Kitab ini. Allah ﷻberfirman:
﴿الحَمْدُ لِلَّهِ رَب الْعَلَمِينَ ٢ الرَّحْمَنِ اَلرَّحِمِ ١ مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ٥ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ﴾
“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang Menguasai di hari kiamat. Kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mu kami mohon pertolongan.” [Al-Fatihah: 2-5]
Adapun cinta, disebutkan dalam firman-Nya yang Maha Kuasa: “ الحَمْدُ لِلَّهِ رَب الْعَلَمِينَ.” Karena pujian adalah ungkapan rasa syukur kepada Allah karena cinta kepada-Nya. Jika pujian bukan karena cinta, maka itu tidak disebut pujian. Allah ﷻ dipuji karena nikmat-Nya yang tak terhitung banyaknya. Dia dipuji karena nama-nama-Nya yang indah, sifat-sifat-Nya yang agung, keindahan-Nya, dan keagungan-Nya. Maha Suci Dia.
Adapun harapan, ada dalam firman-Nya: الرَّحْمَنِ اَلرَّحِمِ “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Ketika seorang Muslim membaca: “ الرَّحْمَنِ اَلرَّحِمِ” Harapan muncul di hatinya. Ketika ia membaca: " مَلِكِ يَوْمِ الذِين," rasa takut muncul di hatinya.
Allah ﷻ berfirman:
وَمَاۤ أَدۡرَىٰكَ مَا یَوۡمُ ٱلدِّینِ ثُمَّ مَاۤ أَدۡرَىٰكَ مَا یَوۡمُ ٱلدِّینِ یَوۡمَ لَا تَمۡلِكُ نَفۡسࣱ لِّنَفۡسࣲ شَیۡـࣰٔاۖ وَٱلۡأَمۡرُ یَوۡمَىِٕذࣲ لِّلَّهِ
"Dan tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu?". "(Yaitu) pada hari, seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu hanya milik Allah". [Al-Infitar: 17-19]
Kemudian Allah berfirman setelah itu: " إِيَّاكَ نَعْبُدُ," artinya: Aku menyembah-Mu, ya Tuhanku, dengan tulus menyembah-Mu karena cinta, harapan, dan takut [Hubb, Raja’ dan Khauf]. Ketiga rukun ini dijelaskan secara jelas dan komprehensif dalam Kitab Allah Yang Maha Tinggi.
Sumber: أحاديث إصلاح القلوب Halaman - 41 [Download أحاديث إصلاح القلوب]
***
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم