Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Aqidah

بسم الله الرحمن الرحيم

📚 Kajian Kitab Manhaj Salaf, Karya Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul Hafidzahullah
🎙┃ Ustadz Mohammad Alif, Lc. حفظه الله تعالى
🗓️┃Jum'at, 7 November 2025 M / 16 Jumadil Awal 1447 H
🕰️┃ Ba'da Maghrib
🕌┃ Masjid Al-Qomar - Jl. Slamet Riyadi No. 414 Rel Bengkong Purwosari, Solo



Ciri-ciri dakwah salaf telah dijelaskan sebelumnya:

1. Sikap loyalitas (wala'dan bara') dibangun diatas ittibâ kepada Rasulullah ﷺ.
2. Syiarnya mengikuti dan meneladani Rasulullah ﷺ.
3. Berjalan di atas Pertengahan dalam segala urusan mereka.
4. Mereka adalah orang yang Menjaga Persatuan dan Keteguhan di Atas Kebenaran.

Ciri Manhaj Salaf #5: Mereka Menyibukkan Diri untuk Menegakkan Agama dengan Mencari dan Mengamalkan Ilmu Syar’i - Bagian#2

Melanjutkan pembahasan sebelumnya :

Ibnu Taimiyah -rahimahullah- berkata: "Barangsiapa menafsirkan Al-Qur'an atau hadis dan menafsirkannya dengan cara yang berbeda dari penafsiran yang diketahui dari para sahabat dan tabi'in, maka ia adalah seorang yang berdusta atas nama Allah, seorang atheis terhadap ayat-ayat Allah, dan seorang yang memutarbalikkan perkataan dari konteksnya. Hal ini membuka pintu bagi bid'ah (zindiq) dan atheisme, dan keabsahannya telah diketahui secara pasti dalam agama Islam." (Majmu' al-Fatawa (13/243)).

Tidak seorang pun berhak menafsirkan suatu ayat atau hadits dengan cara yang bertentangan dengan makna yang ditafsirkan oleh para sahabat Nabi ﷺ.

Ibnu Rajab - 8 H (rahimahullah) berkata: "Di zaman kita—aku katakan: dan di zaman kita, lebih pasti lagi—perlu menuliskan perkataan para imam salaf, para pengikutnya, hingga zaman Syafi'i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Ubaid. Dan hendaknya kita waspada terhadap apa yang terjadi setelah mereka. Banyak peristiwa terjadi setelah mereka, dan sebagian dari mereka yang mengaku mengikuti Sunnah dan Hadits, seperti kaum Zahiriyah dan yang lainnya, bahkan lebih menyelisihi mereka (para salaf) karena penyimpangan mereka dari para Imam, dan pemahaman mereka yang asing tentang apa yang mereka pahami, atau pendapat mereka terhadap apa yang tidak diadopsi oleh para Imam sebelumnya". (Bayan Fadl Ilm al-Salaf (hlm. 69)).

Dan untuk prinsip ini — yaitu memahami Al-Qur'an yang agung dan sunnah Nabi berdasarkan pemahaman para sahabat — para Ahlus Sunnah wal Jamaah, para Ahli Hadis, tidak sembarangan menafsirkan Al-Qur'an yang agung dan menjelaskan makna hadits hanya berdasarkan bahasa, pendapat, atau akal semata; melainkan mereka meneliti riwayat, mengumpulkan apa yang telah datang dari para Salaf dalam karya-karya mereka, dan membangun fiqh serta ijtihad mereka berdasarkan itu, berbeda dengan para ahli bid'ah dan hawa nafsu.

Ibnu Taimiyah - rahimahullah - berkata: "Kelompok Murji'ah dalam prinsip ini — maksudnya: iman — telah menyimpang dari penjelasan Al-Qur'an dan Sunnah serta ucapan para sahabat dan tabi'in secara baik, dan mereka bergantung pada pendapat mereka sendiri serta apa yang mereka tafsirkan berdasarkan pemahaman bahasa mereka, dan inilah cara ahli bid'ah; oleh karena itu Imam Ahmad berkata: kebanyakan kesalahan orang terjadi dari sisi ta’wil dan qiyas."

Itulah sebabnya Anda akan menemukan bahwa kelompok Mu'tazilah, Murji'ah, Rafidhah, dan kelompok lain dari kaum bid'ah menafsirkan Al-Qur'an berdasarkan pendapat dan akal mereka, serta apa yang mereka tafsirkan dari sisi bahasa; oleh karena itu mereka tidak bergantung pada hadits Nabi, sahabat, tabi'in, maupun imam-imam kaum muslimin, mereka tidak bergantung pada sunnah maupun ijma' para salaf dan warisan mereka, melainkan hanya bergantung pada akal dan bahasa.

Dan kita mendapati mereka tidak bersandarkan pada kitab tafsir yang ada, hadist, dan riwayat para salaf, melainkan mereka bergantung pada kitab kesusastraan dan kitab ilmu kalam yang mereka buat sendiri. Ini juga merupakan cara para ahteis; mereka hanya mengambil dari kitab filsafat, kitab kesusastraan, dan bahasa, sedangkan kitab Al-Qur'an, hadits, dan riwayat; mereka abaikan.

Mereka menolak nash para nabi, karena menurut mereka nash tersebut tidak memberikan faedah ilmu. Sementara itu, sebagian lainnya menafsirkan Al-Qur'an menurut pendapat dan pemahaman mereka tanpa riwayat dari Nabi dan para sahabatnya.

Kami telah menyebutkan ucapan Ahmad dan lainnya dalam menolak hal ini dan menjadikannya sebagai cara kaum bid‘ah. (Al-Iman (hal. 114).

Penulis berkata: Ahmad bin Hanbal - semoga Allah merahmatinya - berkata: "Janganlah kamu berbicara tentang masalah yang tidak memiliki imam." (Dikutip dalam Majmu’ Fatawa (21/291) Dan Ibnu al-Jawzi merujuknya dalam Manaqib Imam Ahmad bin Hanbal (hal. 178).

Dan meninggalkan hadis-hadis dan riwayat para salaf, serta bergantung semata pada bahasa dan akal dalam memahami Al-Qur'an dan hadist; itulah jalan yang ditempuh para orientalis pada abad ini.

Sesungguhnya mereka sangat membutuhkan rujukan yang mereka peroleh dari buku-buku al-Jahiz, atau dari Kitab al-Aghani, atau dari al-‘Iqd al-Farid. Jika referensi itu terbatas bagi mereka, mereka berkata: "Ini merupakan konsekuensi akal!"

Sedangkan seorang Muslim yang mengikuti apa yang dilakukan Nabi ﷺ dan para sahabatnya; membatasi fikih dan pemahamannya terhadap Al-Qur'an dan Sunnah Nabi dengan fikih para sahabat dan tidak menyimpang dari mereka, Jika dia mengharuskan berijtihad atau pandangan dalam suatu masalah, lihatlah apakah ada pendahulu yang bisa diikuti, jika tidak maka tinggalkan.

Sebab segala kebaikan ada pada mengikuti para salaf (terdahulu), dan segala keburukan ada pada apa yang diada-adakan dari generasi sesudahnya. Dan berpeganglah kepada ajaran yang asli dan murni.

Ibnu Hajar -semoga Allah merahmatinya- berkata: "Al-Auza'i berkata: Ilmu adalah apa yang datang dari para sahabat Rasulullah ﷺ, dan apa yang tidak datang dari mereka bukanlah ilmu."

Abu Ubaid dan Ya'qub bin Syu'ba meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud Radhiyallahu'anhuma berkata: "Manusia akan terus memperoleh kebaikan selama ilmu yang mereka dapatkan berasal dari sahabat dan para tokoh besar mereka. Namun jika ilmu datang dari ahli bid'ah dan ini akan memecah belah mereka, mereka akan binasa."

Abu Ubaidah berkata: Maknanya, semua yang datang dari sahabat dan tabi'in adalah warisan ilmu, dan apa yang diada-adakan oleh generasi setelah mereka adalah tercela.

Para salaf membedakan antara ilmu dan pendapat; mereka mengatakan sunnah adalah ilmu, dan selain itu adalah pendapat.

Menurut Ahmad: Ilmu diambil dari Nabi ﷺ terlebih dahulu, kemudian dari para sahabat; jika tidak ada, ambillah dari para tabi'in sebagai pilihan.

Kata beliau: Apa yang datang dari para khalifahurasyidin yang terpercaya termasuk sunnah, dan apa yang datang dari sahabat lainnya, siapa yang berkata itu sunnah, maka saya tidak menolaknya.

Menurut Ibnu Mubarak: Yang menjadi sandaran adalah (Atsar) riwayat, dan ambillah pendapat yang menjelaskan riwayat itu berita untuk kalian.
Kesimpulannya: jika suatu pendapat bersandar pada nash dari Al-Qur'an dan Sunnah, maka pendapat itu terpuji; tetapi jika terlepas dari ilmu, maka pendapat itu tercela. (Selesai). [Fath al-Bari (13/291), seluruh riwayat dan maknanya telah dijelaskan. Alhamdulillah].

Berdasarkan sifat ini, beberapa hal muncul:

1. Ahlussunnah: Mereka tidak membicarakan urusan agama dengan pendapat atau akal mereka sendiri.

Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata: "Seandainya agama dibangun di atas akal, maka bagian bawah alas kaki (khuf) lebih pantas untuk dibasuh daripada bagian atasnya, padahal aku melihat Rasulullah ﷺ membasuh bagian atas alas kakinya."

Dalam riwayat lain ia berkata: "Aku tidak melihat bagian dalam kaki lebih pantas untuk dicuci, sampai aku melihat Rasulullah ﷺ membasuh bagian atas alas kakinya."

Dalam riwayat lain ia berkata:

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

“Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”

Hadis sahih: diriwayatkan Abu Dawud dalam kitab Thaharah, bab Cara Bersuci, hadis nomor (162), dan hadis ini telah disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud (1/33).

Dan Abu Abdullah Muhammad bin Ibrahim Al-Bushanjī - rahimahullah - berkata: "Yang wajib bagi seluruh ahli ilmu dan umat Islam: agar tetap mengikuti jalan yang benar, dan menjadikan kaidah-kaidah yang diturunkan dalam Al-Qur'an serta yang dibawa oleh Sunnah sebagai pedoman."

Sunnah dari Rasul ﷺ sebagai tujuan bagi akal, jangan menjadikan akal sebagai tujuan bagi dalil. "

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم