Oleh : asy-Syaikh al-Allaamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
Dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa bentuk luar ini ada yang diciptakan dalam bentuk yang indah, dan ada yang diciptakan dalam bentuk yang buruk, dan ada yang diciptakan dalam bentuk diantara keduanya. Dan bentuk batin (demikian juga) ada yang baik dan ada yang buruk, serta ada yang diantara keduanya, dan bentuk batin inilah yang dikatakan sebagai akhlak.
Jika demikian halnya, maka yang dinamakan akhlak adalah : "Gambaran batin , dimana manusia berwatak seperti gambaran batin itu". Dan sebagaimana akhlak itu merupakan suatu tabiat (pemberian Allah), sesungguhnya akhlak baik juga dapat diperoleh dengan berusaha untuk berakhlak baik, artinya bahwa (ada) manusia yang diciptakan Allah dalam keadaan berperangai baik, dan terkadang ada yang memperoleh akhlak baik itu dengan cara berusaha dan memaksa (serta mengalahkan jiwa untuk berakhlak baik) - oleh karena Nabi bersabda kepada (sahabat yang bernama) Al Asaj bin Qais : "Sesunggunhya dalam dirimu terdapat dua perangai yang dicintai Allah, yaitu sabar dan tenang, (lalu) Al Asaj bin Qais berkata : Wahai Rasulullah, apakah dua perangai itu aku yang membikin (mengusahakan untuk berakhlak sabar dan tenang) ataukah Allah telah ciptakan keduanya untukku? Beliau bersabda : "Allah menciptakanmu dalam keadaan berakhlak sabar dan tenang ".
Maka ini adalah dalil bahwa akhlak mulia itu terjadi melalui tabiat (pembawaan asli), dan bisa juga terjadi dari usaha untuk berakhlak mulia. Akan tetapi, akhlak mulia yang lahir dari tabiat, tentu lebih baik dari akhlak mulia yang terjadi dari hasil usaha untuk berakhlak mulia. Karena jika akhlak itu terlahir dari tabiat, ia akan menjadi karakter dan pembawaan bagi manusia yang tidak membutuhkan usaha membiasakan dan melatihnya. Akan tetapi, ini adalah karunia Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang tidak diciptakan dalam keadaan berakhlak baik, sesungguhnya ia dapat memperolehnya dari jalan berusaha untuk berakhlak baik itu, dengan cara membiasakan dan memaksa (serta mengalahkan jiwa untuk berakhlak baik) sebagaimana kami akan menyebutkannya insya Allah.
Dan banyak manusia berprasangka bahwa berakhlak baik hanyalah dilakukan dalam bermuamalah dengan makhluk, tanpa bermuamalah dengan Allah. Akan tetapi ini adalah pemahaman yang sempit (dalam memahami makna berakhlak baik), karena sesungguhnya berakhlak baik itu sebagaimana dilakukan dalam bermuamalah dengan mahluk, juga dilakukan dalam bermuamalah dengan Al Khaliq (Sang Pencipta). Maka pembahasan tentang berakhlak baik adalah bermuamalah dengan Allah dan bermuamalah dengan mahluk.
Maka apakah yan dimaksud dengan berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah ?
Berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah terkumpul dalam tiga perkara :
Menerima berita-berita dari Allah (Al Qur'an) dengan membenarkannya.
Menerima hukum-hukum Allah dengan cara mengamalkannya.
Menerima takdir Allah dengan sabar dan ridha.
Maka dalam tiga hal inilah berkisar sesuatu yang berkenaan dengan berakhlaq baik dengan Allah.
PERTAMA : Menerima berita-berita dari Allah (Al Qur'an) dengan membenarkannya
Di mana (artinya adalah) tidak terdapat keraguan dalam diri manusia atau kebimbangan dalam membenarkan berita dari Allah (Al Qur'an) , karena berita dari Allah bersumber dari ilmu yaitu Allah Dzat yang paling benar perkataannya. Sebagaimana firman Allah :
"Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah" (An Nisa : 87)
Dan wajib membenarkan berita dari Allah dengan sikap mempercayainya, membelanya, berjihad dengannya, dimana keraguan dan kebimbangan terhadap Al Qur'an dan hadits tidak memasukinya. Dan jika seseorang menampakkan akhlak seperti ini, maka mungkin baginya untuk menolak setiap subhat (kerancuan) yang dibawa oleh orang-orang yang menentang terhadap Al Hadits, baik itu mereka yang menentang dari kalangan orang muslim yang mengadakan perbuatan bid'ah (perkara yang tidak ada contohnya dari Allah dan Rasul-Nya) atau orang-orang non muslim yang melemparkan subhat dalam hati kaum muslimin. Dan kami beri contoh tentang hal itu :
Tersebut dalam shahih Bukhari sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda :
"Jika lalat terjatuh dalam minuman salah seoran dari kalian, maka hendaklah ia benamkan lalat itu kedalam minuman, lalu setelah itu hendaknya ia membuang lalat itu, karena sesunguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit, dan disayap lainnya terdapat obat" (Bukhari 5782)
Ini adalah berita dari Rasulullah r dalam perkara-perkara yang ghaib , Dan Nabi tidaklah mengucapkan dari hawa nafsunya, tetapi yang beliau ucapkan adalah wahyu Allah. (Hal ini) karena Nabi adalah manusia, sedangkan manusia tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bahkan Allah berfirman kepada Nabi r :
Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. (Al An'am : 50)
Berita ini (hadits tentang lalat), wajib bagi kita menerimanya dengan akhak yang baik. Dan berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerimanya serta menetapkan bahwa hadits yang disabdakan oleh Nabi adalah haq dan benar, walaupun ditentang orang yang menentangnya. Dan kita mengetahui dengan seyakin-yakinnya, bahwa pendapat yang menyelisihi hadits yang benar keshahihannya dari Rasulullah r adalah (pendapat) batil, hal ini karena Allah berfirman :
"Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan" (Yunus : 32)
Contoh lainnya :
Dari peristiwa hari kiamat, Rasulullah mengabarkan bahwa matahari berada dekat dengan manusia pada hari kiamat seukuran satu mil. Baik itu mil "al makhalah" (ukuran jarak) atau mil perjalanan. Jarak ini (yaitu antara matahari dan manusia) dekat sekali, tetapi manusia tidak terbakar oleh panasnya, padahal kalau matahari saat ini (didunia) dekat sekali pasti dunia terbakar. Maka terkadang seseorang berkata : "Bagaimana matahari berada dekat kepala-kepala manusia pada hari kiamat sejarak ukuran ini lalu manusia tidak terbakar ? maka bagaimanakah akhlak yang baik terhadap hadits ini? Berakhlak baik terhadap hadits ini adalah dengan menerima dan membenarkannya, dan hendaknya tidak terdapat dalam hati kita kesempitan, kegalauan dan kebimbangan. Dan hendaknya kita mengetahui bahwa hadits yang diberitakan Nabi tentang hal ini adalah haq dan tidak mungkin kita menganalogikan keadaan-keadaan di akhirat berdasarkan keadaan-keadaan didunia, dikarenakan adanya perbedaan besar. Maka jika keadaannya demikian, maka seorang yang beriman akan menerima hadits semisal ini dengan lapang dada dan ketenangan, dan pemahaman tentangnya akan bertambah luas, demikianlah (berakhlak baik) terhadap berita-berita (dalam Al Qur'an dan hadits).
KEDUA : MENERIMA HUKUM-HUKUM ALLAH DENGAN BENTUK MENGAMALKANNYA
Sesungguhnya berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah dalam hal yang berkaitan dengan hukum-hukumNya adalah (dengan cara) menerima, mengamalkan dan merealisasikannya, serta tidak menolak sedikitpun hukum-hukum Allah. Jika seseorang mengingkari suatu hukum Allah, maka tindakan ini adalah (termasuk ) berakhlak buruk kepada Allah.
Kami akan memberikan permisalan tentang puasa. Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah (amalan) yang berat bagi manusia, karena dalam ibadah puasa seseorang (harus) meninggalkan hal-hal yang diingini, seperti makanan, minuman, dan jima'. (Dan) Ini adalah suatu perkara yang berat. Akan tetapi seorang yang beriman, ia akan berakhlak baik kepada Allah, menerima beban syariat ini, dan menerima kemuliaan ini, dan hal ini adalah nikmat dari Allah, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan ketenangan, jiwanya luas, dan kamu akan mendapatinya berpuasa pada siang hari yang panas sedangkan ia dalam keadaan ridha, lapang dada, karena ia berakhlak baik kepada Penciptanya, akan tetapi orang yang berakhlak buruk kepada Allah akan "menemui" ibadah seperti ini dengan keluh kesah, kebencian. Dan andaikata ia tidak takut kepada suatu perkara yang tidak baik akibatnya niscaya ia tidal akan berpuasa.
Dan misal laiinnya adalah shalat :
Tidak dapat diragukan lagi bahwa puasa adalah ibadah yang berat bagi sebagian manusia, dan shalat itu ibadah yang berat bagi orang-orang munafik, sebagaimana sabda Nabi :
"Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya' dan shalat subuh" (Bukhari & Muslim)
akan tetapi shalat bagi orang yang beriman adalah "qurratu aini" (penghibur hati) dan menenangkan jiwanya.
"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`,(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya". (Al Baqarah : 45-46)
Shalat bagi orang yang beriman bukanlah hal yang berat, bahkan shalat itu ringan dan mudah (bagi mereka yang beriman). Oleh karena itu Nabi bersabda :
"Dijadikan pelipur lara hatiku dalam shalat"
Maka berakhlak baik kepada Allah dalam masalah shalat ini, yaitu anda menunaikan shalat dengan lapang dada, tenang, dan kedua matamu mendapatkan pelipur lara jika engkau sedang mengerjakan dan menunggunya jika waktu shalat telah lewat, maka jika engkau telah mengerjakan shalat subuh, engkau dalam kerinduan kepada shalat dzuhur, dan jika engkau telah shalat dzuhur engkau dalam kerinduan kepada shalat ashar, dan jika engkau telah mengerjakan shalat ashar engkau dalam kerinduan kepada shalat maghrib, dan jika engkau telah shalat maghrib engkau dalam kerinduan kepada shalat isya', dan jika engkau telah selesai mengerjakan shalat isya engkau dalam kerinduan kepada shalat subuh. Demikianlah, hatimu selalu teringat dengan shalat-shalat. Hal seperti, tidak dapat diragukan lagi termasuk berakhlak baik kepada Allah.
Dan kami berikan contoh ketiga dalam masalah muamalah :
Dalam masalah muamalah, Allah mengharamkan riba bagi kita dengan pengharaman yang jelas dalam Al Qur'an
"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (Al Baqarah : 275)
dan Allah berkata tentang riba :
"Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Penciptanya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya" (Al Baqarah : 275)
Allah mengancam orang yang kembali melakukan riba sesudah datang kepadanya nasehat dan mengetahui hukumnya dengan ancaman akan memasukkannya kekal kedalam neraka, (kita mohon perlindungan kepada Allah darinya).
Orang yang beriman akan menerima hukum ini dengan lapang dada, ridha dan menyerah (tunduk). Adapun orang yang tidak beriman, ia tidak akan menerimanya dan hatinya sempit dengan hukum ini. Ia akan berusaha mengadakan berbagai siasat dan cara, karena kita mengetahui bahwa bahwa didalam riba terdapat penghasilan yang pasti keutungannya dan tidak terdapat didalamnya perniagaan yang belum diketahui (untung dan rugi), akan tetapi pada hakikatnya riba adalah penghasilan bagi seseorang dan penganiayaan bagi yang lain. Oleh karena Itu Allah berfirman :
"Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya" (Al Baqarah : 279)
ADAPUN PERKARA KETIGA DALAM PEMBAHASAN BERAKHLAK BAIK KEPADA ALLAH ADALAH :
Ridha dan sabar pada taqdir-taqdir Allah, dan kita semua telah mengetahui bahwa taqdir-taqdir Allah yang Allah timpakan kepada mahluk-Nya, sebagiannya sesuai dan sebagiannya tidak disukai.
Apakah sakit disukai manusia ? (tidak sama sekali). Manusia menyukai sehat.
Apakah kefakiran disukai manusia ? Tidak, manusia menyukai menjadi orang kaya.
Apakah bodoh disukai manusia ? tidak, manusia menyukai menjadi seorang yang pandai (alim).
Akan tetapi taqdir Allah dengan hikmah-Nya bermacam-macam, sebagiannya ada yang disukai manusia dan ia lapang dada dengan taqdir sesuai dengan tabiatnya, dan sebagiannya tidak demikian halnya. Maka bagaimanakah berakhlak baik kepada kepada Allah terhadap taqdir-taqdir-Nya ?
Berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah dengan sikap engkau ridha dengan apa yang Allah taqdirkan bagimu, dan hendaknya engkau merasa tenang pada taqdir itu, dan hendaknya engkau mengetahui bahwa tidaklah Allah mentakdirkan bagimu melainkan dengan hikmah dan tujuan yang terpuji serta patut dipuji dan syukur. Dan berdasarkan hal ini, berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah ridha, menyerah dan merasa tenang. Oleh karena itu Allah memuji orang-orang yang sabar yaitu orang – orang yang apabila ditimpa dengan suatu musibah mereka berkata : "Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kita kembali"
Dan Allah berfirman :"Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (Al Baqarah : 155)
Dan kita meringkas pembahasn yang di atas bahwa berakhlak baik sebagaimana terjadi kepada makhluk juga terjadi kepada Al Khalik (Allah), dan yang dimaksud berakhlak baik kepada Allah adalah menerima Al Qur'an dengan membenarkannya, dan "menemui" hukum-hukumnya dengan menerima serta mengamalkannya, dan menerima taqdir-taqdir-Nya dengan sabar, dan ridha, inilah yang dimaksud berakhlak baik terhadap Allah.
Adapun berakhlak baik terhadap mahluk, sebagian ulama menerangkan dan menyebutkan dari Hasan Al Basri bahwa berakhlak baik adalah : mencegah gangguan, mengerahkan kedermawanan, dan berwajah ceria.
Tiga perkara :
Mencegah gangguan
Dermawan
Wajah berseri-seri
PERTAMA : Mencegah gangguan
Apakah makna " Mencegah gangguan?"
Maknanya adalah bahwa seseorang mencegah (dirinya) untuk mengganggu orang lain, baik itu gangguan yang berhubungan dengan harta, jiwa, atau kehormatan. Barangsiapa tidak menahan dirinya dari mengganggu orang lain, maka ia tidak mempunyai akhlak yang baik, dan ia berakhlak jelek. Rasulullah r telah memberitahukan dihadapan sejumlah besar umat beliau r (ketika beliau r menunaikan haji wada' :
"Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, pada bulan kalian ini, dinegeri kalian ini" (hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang berbuat aniaya kepada manusia dengan melakukan pengkhianatan, atau berbuat aniaya dengan memukul, dan kejahatan, atau berbuat aniaya kepada manusia dalam kehormatannya, atau mencela, atau ghibah (menggunjing hal-hal yang jelek), maka hal ini bukanlah termasuk berakhlak baik kepada manusia, karena ia tidak menahan (dirinya) dari mengganggu orang. Dan dosanya semakin besar manakala perbuatan aniaya itu dilakuakan kepada seseorang yang mempunyai hak paling besar padamu. Berbuat jahat kepada kedua orangtua misalnya, lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada selain keduanya, dan berbuat jahat kepada karib kerabat lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada orang yang lebih jauh, dan berbuat jahat kepada tetangga lebih besar dosanya dari berbuat jahat kepada selain tetanggamu, oleh karena itu Nabi bersabda : "Demi Allah, demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman, ditanyakan kepada Rasulullah : Siapa wahai Rasulullah ? beliau bersabda : orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya".
Dalam riwayat Muslim :
"Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya"
KEDUA : MENDERMAKAN KEDERMAWANAN
Makna "Dermawan"
yaitu engkau mendermakan kedermawanan. Dan Kedermawan itu artinya bukanlah sebagaimana yang difahami oleh sebagian manusia, yaitu engkau mendermakan harta (hanya bermakna ini), tetapi yang dimaksud dermawan adalah mendermakan jiwa, kedudukan dan harta.
Jika kita melihat seseorang memenuhi kebutuhan manusia, membantu mereka, membantu mengarahkan mereka kepada seseorang yang mereka tidak mampu (menemuinya kecuali dengan perantaraannya) hingga berhasil (menemui) nya, atau menyebarkan ilmu diantara manusia, mendermakan hartanya kepada manusia, maka kami mensifatinya sebagai orang yang berakhlak baik, karena ia mendermakan kedermawanan, oleh karena itu Nabi bersabda :
"Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kalian berada, ikutilah perbuatan jahat dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan jahat, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik" (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Darimi)
Dan makna hal itu adalah jika engkau dianiaya atau dipergauli dengan perbuatan buruk maka engkau memaafkan. Dan sungguh Allah telah memuji orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia, Allah berfirman tentang penghuni surga :
"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (Ali Imran :134)
Dan Allah berfirman :
"Dan pema`afan kamu itu lebih dekat kepada takwa." (Al Baqarah : 237)
"Dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada." (An Nur : 22)
Dan Allah berfirman :
"Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah." (Asy Syuura : 40)
Seseorang yang berhubungan dengan manusia lainnya, mesti akan mengalami suatu gangguan, maka sepatutnya sikapnya dalam menghadapi gangguan ini adalah hendaknya memaafkan dan berlapang dada. Dan hendaknya ia mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa sikap pemaaf dan lapang dadanya dan harapannya untuk mendapatkan balasan kebaikan kelak di akhirat (dapat mengakibatkan) permusuhan antara dia dengan saudaranya menjadi kasih sayang dan persaudaraan. Allah berfirman :
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (Al Fushilat : 34)
Maka apakah yang lebih baik ? bersikap buruk atau baik ? (tentu) bersikap baik, dan perhatikanlah wahai orang yang mengerti bahasa Arab, bagaimana datang hasil yang diperoleh dengan "idza Al fujaiyyah" yang menunjukkan kejadian langsung dalam hasil yang diperolehnya :
"Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (Al Fushilat : 34)
Akan tetapi apakah setiap orang mendapatkan petunjuk untuk mengamalkan hal ini ?
Tidak, :
"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar" (Al Fushilat : 35)
Dan disini terdapat masalah :
Apakah kita memahami dari keterangan ini memaafkan orang yang berbuat jahat secara mutlak (merupakan tindakan) terpuji dan diperintahkan ? Akan tetapi, hendaknya kalian ketahui bahwa memaafkan itu akan terpuji, jika sikap memaafkan itu lebih terpuji. Maka jika sikap memaafkan lebih terpuji, maka sikap itu lebih utama. Oleh Karena itu Allah berfirman :
"Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah" (Asy Syuura : 40)
Allah menjadikan sikap memaaf diiringi dengan (kata) berbuat baik (pada ayat di atas). Maka apakah mungkin sikap memaafkan tanpa diiringi berbuat baik ?
Jawabannya : Ya, mungkin, terkadang seseorang berani dan berbuat aniaya padamu, dan ia seorang yang dikenal jahat dan berbuat kerusakan oleh manusia. Kalau engkau memaafkannya ia akan terus dalam perbuatan jahatnya dan berbuat kerusakan. Maka sikap apakah yang lebih utama dalam kondisi ini ? kita maafkan atau kita membalas kejahatannya ? yang lebih utama adalah membalas kejahatannya. Karena dengan sikap ini terdapat sikap berbuat baik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Memperbaiki itu wajib, dan memaafkan itu dianjurkan".
Maka jika dalam sikap memaaf itu terlewatkan sikap berbuat baik, maka maknanya bahwa kita mendahulukan anjuran daripada kewajiban, dan hal ini tidak ada dalam syariat. Dan Ibnu Taimiyyah benar (semoga Allah merahmatinya)
Dan pada kesempatan ini saya ingin untuk mengingatkan atas suatu masalah yang dilakukan oleh banyak manusia dengan maksud berbuat baik. Yaitu suatu kejadian menimpa seseorang lalu orang lain meninggal disebabkannya. Maka datanglah keluarga terbunuh lalu meminta tebusan (sebagai pengganti hukuman mati) terhadap pelaku, maka apakah perbuatannya itu terpuji dan dianggap sebagai sikap berakhlak baik ? atau apakah dalam masalah ini ada perinciannya ? Ya benar, yang demikian itu ada perinciannya.
Kita harus memerhatikan dan memikirkan terhadap pelaku kejadian ini, apakah dia dari kalangan orang yang sudah dikenal dengan sikapnya yang ngawur (tidak hati-hati) ? ataukah dia dari orang yang berkata : "Aku tidak peduli menubruk seseorang, karena uang diyatnya (tebusannya) ada dilaci". Kita berlindung diri kepada Allah dari yang demikian itu. Ataukah ia termasuk dari kalangan orang yang tertimpa kejahatan bersamaan dengan sikapnya yang hati-hati dan sadar akan tetapi Allah telah menjadikan sesuatu dengan ukurannya ? Jawabannya adalah : kalau orang ini dari bentuk yang kedua maka memaafkan adalah lebih utama, akan tetapi sebelum memaafkan (walaupun dalam bentuk yang kedua) wajib kita lihat apakah mayit meninggalkan hutang atau tidak ? jika meninggalkan hutang yang belum terbayar maka kita tidak mungkin memaafkannya.
Dan kalau kita memberikan maaf, maka pemberian maaf kita tidak dianggap. Dan masalah ini barangkali lalai darinya kebanyakan manusia, mengapa kita mengatakan bahwa sebelum memaafkan wajib kita melihat apakah mayit mempunyai hutang atau tidak ? Mengapa kita mengatakan yang demikian ?
Karena para ahli waris menerima hak tebusan dari mana ? dari mayit yang ditimpa kejadian, dan tidaklah hak menerima tebusan diberikan kecuali sesudah hutang mayit dibayar. Oleh karena itu tatkala Allah menyebutkan tentang warisan Dia berfirman :
"(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat" (An Nisa : 11)
Permasalahan ini tidak banyak diketahui oleh kebanyakan orang, oleh karena itu kami berkata : "jika terjadi kejadian atas seseorang, maka sebelum memaafkan pelaku kita lihat dulu keadaan pelaku perbuatan terlebih dahulu, apakah ia termasuk orang-orang yang ceroboh atau bukan ? dan kita melihat keadaan korban, apakah ia mempunyai hutang atau tidak ?
Intinya : bahwa termasuk berakhlak baik adalah dengan cara memaafkan manusia, dan ini termasuk sikap mendermakan kedermawanan, karena mendermakan kedermawanan itu bisa dengan cara memaafkan, atau menjatuhkan hukuman, atau menggugurkan hukum.
KETIGA : WAJAH BERSERI-SERI
Yaitu seseorang berwajah ceria, dan kebalikan berwajah ceria adalah bermasam muka, oleh karena itu Nabi bersabda :
"Janganlah meremehkan sesuatu kebaikan walaupun engkau berjumpa dengan saudaramu dengan wajah berseri-seri" (hadits riwayat Muslim)
Berwajah ceria akan memasukkan rasa senang pada orang yang engkau jumpai dan orang yang berhadapan denganmu, mendatangkan rasa kasih sayang dan cinta, mendatangkan kelapangan dalam hati, bahkan mendatangkan rasa lapang dada bagimu dan orang-orang yang bertemu denganmu – cobalah niscaya akan kamu dapatkan ! - . Akan tetapi jika engkau bermuka masam, maka orang lain akan lari darimu, mereka akan merasakan ketidaksukaan untuk duduk denganmu serta berbicara denganmu. Dan boleh jadi kamu akan ditimpa penyakit yang berbahaya yaitu yang dinamakan dengan tekanan (batin). Karena berwajah ceria adalah obat yang mencegah dari penyakit ini, yaitu penyakit tekanan (batin). Oleh karena itu para dokter menasehati orang yang ditimpa penyakit ini untuk menjauhi dari hal-hal yang membangkitkan rasa marah. Karena hal itu akan menambah penderitaannya, maka berwajah ceria akan memusnahkan penyakit ini, karena manusia akan merasakan lapang dada dan dicintai mahluk.
Ini adalah tiga dasar, di mana pada tiga hal inilah berkisar sikap berakhlak baik dalam bermuamalah dengan mahluk.
Dan dari hal yang sepatutnya diketahui dalam berakhlak baik adalah bergaul dengan baik. Yaitu dengan cara seseorang bergaul dengan temannya, sahabatnya, karib kerabatnya dengan pergaulan yang baik, tidak membikin kesusahan dan kepedihan mereka, tetapi mendatangkan rasa gembira sesuai dengan batasan-batasan syariat Allah. Dan batasan ini haruslah batasan yang berdasarkan syariat Allah, karena diantara manusia ada orang yang tidak gembira kecuali dengan perbuatan maksiat kepada Allah, (kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu), yang demikian tidak kita setujui. Akan tetapi memasukkan rasa senang kepada orang yang berhubungan denganmu dari kalangan keluarga, teman, karit kerabat adalah termasuk berakhlak baik, oleh karena itu Nabi bersabda :
"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku (terhadap) keluargaku adalah orang yang terbaik diantara kalian". (hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah, dan Baihaqi)
Dan sangat disayangkan banyak diantara manusia berakhlak baik kepada orang lain, akan tetapi mereka tidak berakhlak baik kepada keluarganya, ini adalah sikap yang salah dan membalikkan hak-hak, bagaimana mungkin kamu berbuat baik kepada orang-orang jauh dan berbuat jelek kepada kerabat dekat ? kerabat dekat adalah manusia yang paling berhak kamu berhubungan dan bergaul dengan baik. Oleh karena itu bertanya seorang lelaki kepada Rasulullah :
"Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak aku berbuat baik padanya ? Rasulullah menjawab : Ibumu, lalu ia bertanya lagi : lalu siapa ya Rasulullah ? Beliau menjawab : Ibumu, lalu lelaki itu bertanya lagi : lalu siapa ya Rasulullah ? Beliau menjawab : ayahmu". Pada jawaban pertanyaan ketiga atau keempat. (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)
Intinya : bahwasanya bergaul dengan baik kepada keluarga, sahabat-sahabat, kerabat terdekat, semua itu termasuk berakhlak baik. Dan sepatutnya kita di tempat ini (tempat syaikh Utsaimin menyampaikan ceramah) menampakkan keberadaan pemuda dimana kita membiasakan mereka untuk berakhlak baik, agar tempat ini menjadi tempat pendidikan dan pengajaran, karena ilmu tanpa tarbiyah (mendidik) terkadang mudharatnya (akibat jeleknya) lebih besar dari manfaatnya, akan tetapi bersama dengan tarbiyah, ilmu akan memperoleh hasil yang dituju. Oleh Karena itu Allah berfirman :
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. (Ali Imran : 79)
Ini adalah faedah ilmu, dimana manusia akan menjadi Rabbaniyyin artinya pendidik hamba-hamba Allah di atas syariat Allah.
Dan markas ini (tempat beliau ceramah), kami mengharapkan kepada pendirinya untuk menjadikannya sebagai tempat berlomba-lomba dalam berakhlak yang utama, diantaranya adalah berkahlak baik. Dan berakhlak baik bisa terjadi karena memang sudah tabiatnya atau karena mengusahakan untuk berakhlak baik (sebagaimana penjelasan lalu). Dan berakhlak baik karena memang sudah menjadi tabiat adalah lebih sempurna dari berakhlak baik karena mengusahakan untuk berakhlak baik. Dan kami telah mendatangkan dalil tentang hal ini yaitu sabda Rasulullah :
"Itu telah Allah ciptakan untukmu"
Dan berakhlak baik yang dihasilkan dari mengusahakan untuk berakhlak baik, terkadang banyak hal terlewatkan, karena berakhlak baik dengan cara berusaha akan membutuhkan latihan, sikap menderita dan menahan, serta mengingat (untuk sabar) ketika mendapatkan hal yang membikin marah dari manusia. Oleh karena datang seorang lelaki kepada Rasulullah berkata :
"Wahai Rasulullah, berikan aku wasiat, Rasulullah bersabda : janganlah kamu marah"
Dan Nabi bersabda : "Bukanlah orang yang kuat itu pegulat, tetapi yang dinamakan orang kuat itu adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah" (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)
Apakah makna "as-sor'ah?"?
"as-sor'ah?"? " adalah seorang lelaki pegulat yang mengalahkan lawannya.
Bukanlah orang yang kuat itu pegulat, tetapi yang dinamakan orang kuat itu adalah orang yang mampu menguasai dirinya ketika marah, yaitu orang yang bergulat dengan jiwanya dan menguasainya ketika marah itulah orang yang kuat.
Dan penguasaan manusia terhadap jiwanya dianggap termasuk dari akhlak-akhlak yang baik. Jika kamu marah maka janganlah meneruskan kemarahanmu, (tetapi) berlindunglah kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Jika kamu marah (dalam keadaan berdiri) maka duduklah, dan ketika kamu marah dalam posisi duduk maka berbaringlah, dan jika rasa marah bertambah maka berwudhulah hingga hilang darimu rasa marah.
Maksud dari apa yang katakana : bahwa berakhlak baik itu terjadi secara tabiat dan juga dari upaya untuk berakhlak baik. Dan berakhlak baik yang dihasilkan dari tabiat adalah lebih utama ; karena sudah menjadi suatu perangai pada manusia, dan ia akan mudah dalam segala keadaan (untuk berakhlak baik). Akan tetapi berakhlak baik yang dihasilkan dari upaya terkadang terlewatkan dalam beberapa kondisi.
Demikianlah kami katakan bahwa berakhlak baik dapat diperoleh dengan mengusahakannya, artinya seseorang membiasakan dirinya. Lalu bagaimanakah manusia dapat berakhlak baik ? manusia dapat berakhlak baik dengan hal-hal berikut ini :
Pertama :
Melihat dalam Al Qur'an dan hadits Rasulullah, (yaitu) melihat dalil-dalil yang menunjukkan terpujinya akhlak yang agung ini. Dan seorang yang beriman jika melihat nash-nash yang memuji tentang akhlak atau amal perbuatan maka ia akan berusaha mengamalkannya.
Kedua :
Duduk dengan orang-orang yang baik dan shalih yang dipercaya dalam keilmuan mereka atau amanat mereka, Nabi bersabda :
"Permisalan teman duduk yang baik dan buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi, penjual minyak wangi tidak akan melukaimu, mungkin engkau membelinya atau engkau mendapatkan baunya. Sedangkan pandai besi akan membakar badanmu atau pakaianmu, atau engkau akan mendapatkan bau yang tidak sedap". (Hadits riwayat Bukhari)
Maka wajib bagi kalian wahai pemuda, untuk berteman dengan orang-orang yang sudah dikenal berakhlak baik dan menjauh dari akhlak yang jelek, dan perbuatan yang hina, hingga engkau mengambil dari teman itu "madrasah" darinya engkau mendapatkan pertolongan untuk berakhlak baik.
Ketiga :
Hendaknya seseorang memperhatikan apa yang diakibatkan oleh akhlak yang buruknya, karena akhlak yang buruk itu dibenci, dan dijauhi, serta termasuk sifat yang jelek.
Maka jika seseorang mengetahui bahwa berakhlak buruk itu mengantarkan kepada hal ini, maka hendaknya ia menjauhinya.
Kita memohon kepada Allah agar Dia menjadikan kita termasuk orang-orang yang berpegang kepada kitab Allah dan Sunnah Rasuk-Nya baik secara dhahir maupun batin, dan mewafatkan kita dalam keadaan yang demikian ini serta melindungi kita didunia akhirat. Dan (melindungi) hati kita dari ketergelinciran sesudah Dia memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kepada kita rahmat-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pemberi.
Sumber :Ma'had Ali Al-Irsyad As Salafi Surabaya Indonesia