Penjelasan tentang Ketaatan kepada penguasa merupakan salah satu dari ushul aqidah ahlissunnah wal jamaah dan kapan kita memberontak?...
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (penguasa) di antara kalian.” (QS. An-Nisa`: 59)
Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa), baik pada sesuatu yang dia suka atau benci. Akan tetapi jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat.” (QS. Al-Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ
“Dan barangsiapa yang berbaiat kepada seorang pemimpin (penguasa) lalu bersalaman dengannya (sebagai tanda baiat) dan menyerahkan ketundukannya, maka hendaklah dia mematuhi pemimpin itu semampunya. Jika ada yang lain datang untuk mengganggu pemimpinya (memberontak), penggallah leher yang datang tersebut.” (HR. Muslim no. 1844)
KOMPASIANA.com ~ Menjadi salafi berarti memilih sesuatu yang lain. Seorang peneliti antropologi, sayangnya, belum jeli melihat kenyataan ini. Sampai sekarang, belum ada kajian antropologi yang concern mengkaji kehidupan komunitas Salafi. Belum ada karya antropolog yang berwibawa, sewibawa karya-karya Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa, mengangkat komunitas Salafi sebagai bahan penelitian.
Yang patut dicatat, Salafi bukan teroris. Selama ini, publik selalu saja menggambarkan bahwa teroris adalah Salafi dan Salafi adalah teroris. Padahal, yang sebenarnya, orang-orang yang melakukan aksi terorisme berkedok Islam dan jihad melawan pemerintah serta mengafirkan orang-orang banyak, termasuk juga meledakkan bom di sana-sini, adalah gerombolan pencatut label Salafi dalam landasan aksi-aksi mereka.
Kalau kita mau jeli, dan meneliti secara jujur dan berani, kita akan menemukan bahwa teroris adalah teroris dan Salafi adalah Salafi. Sepertinya, tahun-tahun sekarang bakal membutuhkan banyak tenaga antropolog untuk meneliti tentang subjek ini. Jika tidak, bias istilah akan semakin merajalela.
Mengapa antropolog? Justru karena mereka yang mau dan mampu melihat dari dalam. Salafi itu komunitas aneh, jauh berbeda dari orang-orang kebanyakan. Bahkan, dapat dikatakan, mereka ada sebagai sebuah subkultur yang eksis dan ada di tengah-tengah masyarakat kita. Hanya tinggal kita: apakah kita mau dan jeli melihatnya?
Sering terjadi diskusi atau debat tentang boleh dan tidaknya seorang da’i yang menjelaskan masalah bid’ah dimajlis majlis ‘ilmu dan tentu saja debat ini terjadi diantara para pendukung sunnah melawan pendukung bid’ah, simpatisan atau para da’i yang gandrung dengan bid’ah-bid’ah yang digemari oleh kebanyakan manusia, dan mereka tidak ingin ditinggalkan pengikutnya.
Seakan-akan sudah menjadi kaidah yang disepakati diantara mereka (walaupun tidak diucapkan) bahwasanya pembahasan masalah-masalah bid’ah akan membuat manusia lari dan menjauh dari mereka, dan memecah belah persatuan ummat islam, maka demi terlaksananya dakwah maka tidak perlu hal-hal tersebut diangkat dihadapan manusia.
Satu contoh jawaban yang sering mereka lontarkan ketika ditanya “apakah melafadzkan niat itu bid’ah atau sunnah ?” maka mereka menjawab “Tidak perlu sibuk dengan hal itu, semua benar yang salah adalah yang tidak sholat !”.
Jawaban seperti ini seolah olah sebagai jurus penyelamat bagi mereka supaya tidak di tinggalkan oleh pengikutnya, dan ternyata jawaban seperti ini sangatlah ampuh sehingga orang yang mendengarnya akan mengatkan padanya ini adalah seorang ustadz/kyai yang tidak kolot, sesuai dengan keadaan dan menyatukan dan tidak memecah belah ummat, dan mampu memberi solusi tepat tidak menyusahkan.